pages

Showing posts with label aceh. Show all posts
Showing posts with label aceh. Show all posts

Tuesday, 23 August 2016

Awal Mula Masuk Penjajah dalam Sejarah Kerajaan di Aceh

  
Perjuangan bangsa Aceh dalam mengusir penjajah adalah perjuangan yang sangat panjang dan melelahkan, akan tetapi semangat bangsa Aceh tidak akan pernah padam, Aceh sebagai daerah yang mempunyai sumber daya alam yang melimpah telah membuat bangsa lain terus menerus berupaya untuk melakukan penjajahan terhadap wilayah Aceh.

Menjelang akhir abad ke XV arus penjajahan Barat ke Timur sangat derasnya, terutama penjajahan Barat-Kristen terhadap Timur-Islam.
Nafsu untuk mendapat rezki yang banyak dengan cara yang haram, telah mendorong orang-orang Eropa berlomba-lomba ke Dunia Timur, terutama sekali setelah Columbus menemui Benua Amerika dan Vasco da Gama menjejakkan kakinya di India.

Di antara bangsa Eropah-Kristen yang pada saat itu sangat haus tanah jajahan, yaitu Portugis, dimana setelah mereka dapat merampok Goa di India, maka mata penjajahannya diencerkan ke Malaka dan Kerajaan Islam-Kerajaan Islam yang berdiri di pantai utara Sumatera : Aru, Teumieng, Pase, Perlak, Pidie, Aceh dan Daya.

Untuk mencapai nafsu-jahatnya itu, dari Malaka yang telah dirampoknya, Portugis mengatur rencana perampokan tahab demi tahab. Langkah yang diambilnya, yaitu mengirim kakitangan ke daerah-daerah pesisir Utara Sumatera untuk menimbulkan kekacauan dan perpecahan dalam negeri yang akan dirampoknya itu, kalau mungkin menimbulkan perang saudara,

Seperti yang terjadi di Pase, sehingga ada pihak-pihak yang meminta bantuan kepada mereka, hal mana menjadi alasan bagi mereka untuk melakukan intervensi. Menjelang akhir abad ke X V dan awal abad ke XVI, Portugis telah dapat melaksanakan nafsu penjajahannya kepada Raja-raja Am (Pulau Kampai), Pase, Pidie dan Daya.

 Dalam kerajaan-kerajaan tersebut mereka mendirikan kantor-kantor dagang dan menempatkan pasukan. Keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwa itulah yang dilihat dengan mata-akalnya oleh Panglima Angkatan Perang Kerajaan Islam Aceh, Ali Mughaiyat Syah, pada waktu dia meminta agar ayahnya yang telah tua, Sulthan Alaiddin Syamsu Syah, meletakkan jabatan dan menyerahkan pimpinan negara kepadanya.

Setelah pada tanggal 12 Zulka'dah 916 H. (1511 M.) Ali Mughaiyat dilantik menjadi Sulthan Kerajaan Islam Aceh dengan gelar Sulthan Alaiddin Ali Mughaiyat Syah, maka beliau terus menetapkan tekad untuk mengusir Portugis dari seluruh daratan pantai Sumatera Utara, sejak dari Daya sampai ke Pulau Kampai. Ali Mughaiyat berpendapat, bahwa untuk melaksanakan tekadnya itu akan sukar sekali, kalau tidak boleh dikatakan mustahil.

 Selama kerajaan-kerajaan yang kecil-kecil itu tetap berdiri sendiri, tidak menggabungkan diri ke dalam satu kerajaan besar yang kuat dan bersatu, mempunyai angkatan perang yang tangguh. Untuk maksud itulah, maka secepat dia diangkat menjadi Sulthan, secepat itu pula dia memproklamirkan berdirinya "Kerajaan Aceh Darussalam" yang daerah wilayahnya meliputi Aru sampai ke Pancu di Pantai Utara dan dari Daya sampai ke Barus di Pantai Barat, dengan Ibukota Negara Banda Aceh Darussalam.

Kekuatan Portugis dihancurkan.

Untuk merialisir proklamasinya itu, Ali Mughaiyat Syah mengambil langkah cepat dan tegas. Dikirimnya peringatan pasti. kepada raja-raja Daya, Pidie, Pase dan Aru agar mereka mengusir Portugis dari negerinya masing-masing dan kemudian bersatu menjadi satu kerajaan yang besar. 

Tetapi, peringatan Ali yang bertujuan baik itu bukan saja tidak diindahkan, bahkan mereka tambah memberi hati kepada Portugis, sehingga terpaksa baginda menempuh jalan kekerasan. Waktu niatnya hendak menyerang Daya disampaikan kepada ayahnya, Syamsu Syah, yang telah tua, dilarangnya berbuat demikian. Sungguhpun ada larangan ayah, namun Ali terus melanjutkan niatnya itu, karena kuku penjajahan Portugis semakin kuat menancap di Daya.

 Penyeranganpun dimulai dan dalam waktu yang relative singkat, kekuatan Portugis di Daya dihancurlumatkan, sehingga Raja Daya bersama majikannya, tentera pendudukan Portugis, lari ke Pidie, dimana dikejar terus oleh Ali Mughaiyat sampai ke Pidie dan disanapun tentera Portugis diremuk-redamkan dengan mengalami kerugian yang amat besar. Dari Pidie, Portugis bersama Raja Daya dan Raja Pidie melarikan diri ke Pase, yang dikejar tanpa ampun oleh Ali Mughaiyat Syah. Di Pase juga angkatan perang Portugis mengalami kehancuran yang sefatal-Catalnya, dimana sebahagian besar serdadu-serdadunya terpaksa berkubur konyol di Teluk Samudra/Pase.

Setelah selesai pengusiran Portugis dari seluruh daratan Aceh, dengan membawa kemenangan yang gilang-gemilang Sulthan Alaiddin Mughaiyat Syah kembali ke Ibu kota Negara, Banda Aceh Darussalam, dan mengangkat adiknya, Laksamana Raja Ibrahim, menjadi Raja Muda untuk Wilayah Timur Kerajaan, yaitu Pase dan Aru. Dalam suatu pertempuran antara Armada Aceh dengan Armada Portugis di Teluk Aru, Laksamana Raja Ibrahim gugur syahid pada tanggal 21 Muharram 930 H. (30 November 1524 M.). Laksamana Ibrahim digantikan oleh Laksamana Malik Uzair (Putera Sulthan Salatin Meureuhom Daya, ipar Sulthan Alaiddin Ali Mughaiyat Syah sendiri), yang juga syahid pada bulan Jumadil Awa l931 H. (1526 M.) dalam. suatu pertempuran yang lain. Dalam pertempuran-pertempuran di berbagai medan dapat dicatat, bahwa Armada Portugis benar-benar telah dihancurlumatkan dan sekian banyak perwira tingginya yang mati konyol, seperti Laksamana Jorge de Berito yang mati konyol dalam pertempuran bulan Mei 1521 M. (927 H.), Laksamana Simon de Souza yang mati dalam pertempuran tahun 1528 M. (934 H.).dan lain-lain.

Setelah syahid Laksamana Malik Uzair, Sulthan mengangkat putera bungsunya, Malik Abdulkahhar, menjadi Amirul Harb (Panglima Perang Besar) untuk Kawasan Timur merangkap Raja Muda di Aru.

Alam Zulfiqar

Setelah selesai membersihkan negara dari anasir penjajah dari luar dan pengacau dari dalam, dan setelah meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi Kerajaan Aceh Darussalam, dan setelah menciptakan bendera kerajaan yang bernama "Alam Zulfiqar" (Bendera Cap Pedang) yang berwarna merah-darah dengan bulan sabit dan bintang serta pedang putih yang membelintang di atasnya; maka setelah itu semua Sulthan Alaiddin Ali Mughaiyat Syah berpulang ke rahmatullah pada hari Selasa tanggal 12 Zulhijjah 936 H. (7 Agustus 1530 M.). Dalam perjalanan sejarahnya, Kerajaan Kerajaan Aceh Darussalam pernah mengalami zaman-zaman naik menanjak ke mercu kebesaran, dan adakalanya mengalami masa-masa muram menuju lembah kemunduran.

Masa-masa semenjak Sulthan Alaiddin Ali Mughaiyat Syah sampai kepada masa Ratu Tajul Alam Safiatuddin, adalah zaman gemilang yang terus menanjak, sementara zaman-zaman setelah itu, semenjak pemerintahan Ratu Nurul Alam Naqiatuddin sampai kepada masa Sulthan Alaiddin Muhammad Daud Syah, adalah masa suram yang terus menurun.

Sulthan Alaiddin Ali Mughaiyat Syah, Abdulkahhar (Al Kahhar), Iskandar Muda dan Saflatuddin adalah mutiara-mutiara utama dalam matarantai Raja-raja Aceh.

Kerajaan Aceh Darussalam yang telah mengambil Islam menjadi dasar Negaranya, telah sanggup membangun tamaddun dan kebudayaan yang tinggj di kawasan Kepulauan Nusantara, terutama di Sumatera dan Malaya.

Semenjak Ali Mughaiyat Syah sampai Muhammad Daud Syah, jumlah para Sulthan Kerajaan Aceh Darussalam, semuanya31 orang. Sebelum itu, Kerajaan Islam Perlak mempunyai 19 orang Sulthan, Kerajaan Islam Samudra/Pase mempunyai 9 orang Sulthan dan Kerajaan Islam Darussalam mempunyai 11 orang Sulthan, dimana Sulthan terakhirnya yaitu Sulthan Alaiddin Ali Mughaiyat Syah (putera Sulthan Alaiddin Syamsu Syah), pembangun Kerajaan Aceh Darussalam dan menjadi Sulthannya yang pertama.

Sumber:
A. Hasjmy, 59 TAHUN Aceh Merdeka di bawah Pemerintahan Ratu, cetekan I,  Bintang Bulan, Jakarta, 1977




Saturday, 20 August 2016

Sejarah Perjuangan Cut Nyak Dien


Cut Nyak Dien adalah salah satu pahlawan wanita yang sangat ditakuti oleh penjajah Belanda, beliau lahir di Lampadang, Aceh, tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia yang merupakan golongan bangsawan Aceh, keturunan Datuk Makhudum Sati, perantau dari Minang Kabau yang  juga merupakan keturunan dari Laksamana Muda Nanta, ia adalah seorang perwakilan kesultanan Aceh pada pada masa pemerintahan Iskandar Muda di Pariaman,  ibunya adalah putri uleebalang Lampagar , Cut Nyak Dien adalah pahlawan nasional wanita yang berasal dari Aceh, ia dikenal sebagai perempuan yang sangat tangguh dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda.

Pada masa hidupnya ia memiliki dua orang suami , suami pertamanya adalah Teuku Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lam Nga, mereka menikah pada tahun 1862 ketika itu Cut Nyak Dien masih berumur 12 tahun, dari pernikahan  tersebut mereka dikaruniai seorang anak laki-laki, suaminya juga merupakan seorang pejuang yang sangat tangguh dalam melawan penjajah Belanda, ia gugur dalam pertempuran melawan Belanda di Gle Tarum pada tahun 29 Juni 1878, setelah suaminya gugur, ia bertekad untuk meneruskan perjuangan suaminya.

Sepeninggal suaminya peperangan demi peperangan  terus dilalui oleh Cut Nyak Dien dengan pasukannya, sampai akhirnya ia menikah lagi dengan seorang pejuang yang tidak kalah tangguhnya dalam melawan penjajah Belanda yaitu Teuku Umar, pada tahun 1980.
Dari pernikahan kedua  pejuang tersebut membuat semangat baru bagi rakyat Aceh dalam meningkatkan perlawanan terhadap penjajah Belanda, dari penikahan tersebut mereka dikaruniai seorang putri perempuan yang dinamai Cut Gambang.

Teuku Umar dikenal dengan pejuang yang banyak Taktik dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda, Teuku Umar pernah melakukan pergerekan dengan mendekati Belanda sehingga hubungannya dengan Belanda sangat akrab, pihak Belanda sangat senang kepada Teuku Umar, karena pejuang yang sangat  berbahaya ini mau membantu mereka, pihak Belanda berpikir Teuku Umar sungguh-sungguh kerja sama dengan mereka sampai-sampai mereka memberikan gelar Teuku Umar Johan pahlawan serta memberikan kekuasaan penuh kepada Teuku Umar dan menjadikannya komandan Unit pasukan Belanda.

Pada saat itu Belanda tidak tau strategi yang sedang dibangun oleh Teuku Umar bahkan sebagian pejuang dari Acehpun  menganggap Teuku Umar sebagai pengkhianat karena telah melakukan kerja sama dengan Belanda.

Sebenarnya pada saat itu Teuku Umar hanya ingin mempelajari taktik Belanda, dan mengatakan ingin menyerang basis Aceh, setelah Teuku Umar mempelajari taktik Belanda, ia pergi bersama Cut Nyak Dien dan pasukannya dengan  perlengkapan berat  dan senjata milik Belanda dan tidak pernah kembali kepada pihak Belanda.

Ketika itu Belanda marah besar kepada Teuku Umar karena mereka menganggap  Teuku Umar telah berkhianat kepada mereka , kemarahan tersebut membuat Belanda melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap Cut Nyak Dien dan Teuku Umar baik dalam keadaan hidup maupun mati.

Perlawanan dari pihak Acehpun semangkin meningkat karena telah dilengkapi dengan perlengkapan dan senjata yang diambil dari Belanda, pada saat itu Belanda berada dalam kekacaun karena banyaknya pasukan mereka yang terbunuh dan mereka  terus menerus mengganti Jendral,  memuncaknya perlawanan dari pihak Aceh karena sudah banyaknya perlengkapan sejata.

Walaupun demikian pihak Belanda tidak kehilangan akal, tekanan dari  pihak Aceh tidak membuat Belanda menyerah begitu saja, pada saat itu Belanda memanfaatkan orang  Aceh dengan bayaran tertentu untuk memata-matai  rencana Teuku Umar dan pasukannya, dari rencana Belanda tersebut akhirnya membawa hasil,  pada tanggal 11 Februari 1899 berhasil disergap oleh pihak Belanda dan Teuku Umar gugur di medan perang.

Hal tersebut tidak membuat Cut Nyak Dien patah semangat, Cut Nyak Dien terus memimpin perlawanan melawan Belanda , peperangan melawan Belanda terus dilalui oleh Cut Nyak Dien dengan  pasukanya sampai pada titik terakhir pada tahun 1901 karena pasukan Cut Nyak Dien terus berkurang dan Cut Nyak Dien pun sudah semakin tua dan matanya mulai rabun serta sulit memperoleh makanan karena mereka terus diburu oleh pasukan Belanda, walaupun demikian cut nyak dien tidak pernah mengenal kata menyerah.

Akhirnya Cut Nyak Dien ditangkap oleh Belanda di Beutong Lhee Sagoe, sebelum ditangkap oleh Belanda Cut Nyak Dien dan pasukannya juga sempat melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda, keberadaannya tersebut diketahui  oleh Belanda karena  anak buahnya bernama Pang Laot melaporkan markas meraka kepada pihak Belanda karena merasa iba dengan kondisi Cut Nyak Dien.
Putri Cut Nyak Dien yang bernama Cut Gambang berhasil melarikan diri dari gempuran pasukan Belanda. 

kemudian Cut Nyak Dien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat disana, setelah itu pihak Belanda membawa Cut Nyak Dien dan tahanan politik lainnya ke Sumedang,  Jawa Barat. Pihak Belanda menganggap keberadaannya di  Aceh sangat berbahaya  Karena Cut Nyak Dien terus mengobarkan semangat perjuangan kepada pejuang yang belum berhasil ditangkap untuk melawan penjajahan Belanda.

Cut Nyak Dien meninggal pada tanggal 6 November 1908,  karena usianya yang sudah sangat tua, pencarian makam Cut Nyak Dien berdasarkan data yang ditemukan di Belanda , makamnya berhasil ditemukan pada tahun  1959. Belanda mengingkari janji karena memisahkan Cut Nyak Dien dengan tanah dan rakyat Aceh, setelah wafat nya Cut Nyak Dien perjuangan terus berlanjut sampai Indonesia merdeka.


Sumber :
wikipedia.org
serbasejarah.wordpress.com


Sunday, 7 August 2016

Inilah 13 Wanita Tangguh Yang Menjadi Pahlawan Aceh


Sebelum isu emansipasi dan kesetaraan gender hangat diperbincangkan, beberapa abad yang lalu wanita Aceh telah menikmati kesetaraan hak nya  dengan laki-laki, wanita bukan hanya dijadikan juru masak atau tukang bersih-bersih rumah  bahkan mempunyai kedudukan yang mulia serta tanggung jawab yang besar dalam pemerintahan. Jika kita dengar kata perang, militer dan pemerintah itu sangat diidentikan dengan kaum pria karena tugas seberat itu mayoritas sangat didominasi oleh kaum pria, maka sejarah telah mencatat bahwa ada sejumlah  wanita tangguh  yang mempunyai peran dan tanggung jawab yang besar dalam kerajaan dan perjuangan aceh.
Karena itu, adalah suatu hal yang Iogis kalau sejarah telah mencatat sejumlah nama wanita yang telah memainkan peranan yang amat penting di Tanah Aceh, sejak zaman Kerajaan Islam Perlak sampai kepada Kerajaan Aceh Darussalam diantara nya adalah.

1.    Puteri Lindung Bulan, anak bungsu dari Raja Muda Sedia yang memerintah Kerajaan Islam Benua/Teuming pada tahun 753 - 800 H. (1333 - 1398 M)

2.    Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu, yang menjadi Raja terakhir dari Kerajaan Islam Samudra/Pase, yang memerintah dalam tahun 801-831 H. (1400-1428 M)

3.    Laksamana Malahayati, seorang janda-muda yang menjadi Panglima dari Armada Inongbale (Armada Wanita-janda), yang dibangun oleh Sulthan Alaiddin Riayat Syah Saidil Mukammil, yang memerintah dalam tahun 997-1011 H. (1589-1604 M )

4.    Ratu Safiatuddin, yang memerintah Aceh dalam tahun 1050-1086 H (1641-1675 M)

5.    Ratu Naqiatuddin, yang memerintah Aceh dalam tahun 1086-1088 H (1675-1678 M)

6.    Ratu Zakiatuddin, yang memerintah Aceh dalam tahun 1088-1098 H (1678-1688 M)

7.    Ratu Kamalat, yag memerintah Aceh dalam tahun 1098-1109 H (1688-1699 M)

8.    Cut nyak Dhin, yang setelah suaminya, Teuku Umar, Syahid dia mengoper pimpinan perang. Dalam keadaan telah buta, Cutnyak Dhin ditawan dan dibuang ke Jawa.

9.    Teungku Fakinah, seorang wanita-Ulama yang menjadi pahlawan; memimpin sebuah resimen dalam Perang Aceh, dan setelah usai perang, Fakinah mendirikan pusat pendidikan Islam yang bernama Dayah Lam Diran.

10.    Cut Meutia, seorang pahlawan wanita yang selama 20 tahun memimpin perang gerilya dalam hutan-hutan Pase, yang kemudian syahid, karena telah bersumpah tidak akan mau menyerah hidup kepada Belanda.

11.    Pecut Baren, seorang pahlawan wanita bertahun-tahun memimpin peran terhadap Belanda (1898-1906), sehingga beliau tertawan dalam mempertahanka bentengnya setelah luka parah (1906).

12.    Pocut Meurah Intan, Srikandi yang juga bernama Pocut Biheu, bersama putera puteranya, Tuwanku Muhammad, Tuwanku Budiman dan Tuwanku Nurdin, berperang tanpa kenal menyerah bertahun-tahun untuk menghadapi tentara Belanda, dan dalam keadaan luka parah ia dapat ditawan dalam tahun 1904, demikian pula Puteranya Tuwanku Nurdin, sedangkan puteranya Tuwanku Muhammad telah syahid dalam tahun 1902.

13.    Cutpo Fatimah, seorang pahlawan wanita yang menjadi teman seperjuangan Cut Meutia, puteri dari seorang ulama besar, Tengku Khatim atau Teungku Chik Mata Ie. Cutpo Fatimah bersama suaminya, Teungku Di barat, melanjutkan perang  setelah Cut Mutia dan suaminya syahid, sehingga dalam pertempuran pada tanggal 22 Februari 1912, Cutpo Fatimah dan Suaminya syahid bertindih badan.

Itulah para wanita tangguh yang menjadi pahlawan Aceh, Sejak dari Kerajaan Islam Perlak, Kerajaan Islam Samudra/Pase sampai-sampai kepada Kerajaan Aceh Darussalam para wanita tangguh ini mempunyai peran yang sangat besar, Islam telah diambil menjadi dasar negara, dan sumber hukumnya, yaitu Qur’an, Sunnah, Ijmak dan Qiyas.
Dalam Adat Meukuta Alam (Undang-Undang Dasar Kerajaan Aceh Darussalam) tersebut. Kanun Maukuta Alam Al Asyi, yaitu :
Al Qur-an,
Al Hadis,
Ijmak Ulama Ahlus Sunnah,
Al Qiyas.

Karena Islam telah diambil menjadi Dasar Negara dan Qur-an serta Sunnah telah dinyatakan sebagai sumber hukum, maka kedudukan wanita dalam Kerajaan Aceh Darussalam, disesuaikan
dengan ketentuan-ketentuan Al Qur-an dan Sunnah. Al Qur-an telah menegaskan, bahwa manusia diciptakan dari sumber yang satu, yaitu dari Adam, baik pria ataupun wanita, baik yang berkulit putih ataupun yang berkulit hitam. Karena itu, kedudukan pria dengan wanita sama ; manusia sama derajat dalam pandangan Allah :
Bertakwalah kepada Allah, yang telah menciptakan kamu dari satu sumber (Adam), dan dari sumber itu sendiri Allah menciptakan istri nya  (Hawa). Dan kemudian daripada keduanya, Allah mengembangbiakkan pria dan wanita yang banyak. Bertakwalah kepada Allah ,dimana  dengan namanya kamu saling-minta dan saling-ikat silaturrahim.sesungguh nya Allah senantiasa mengawasi kamu. (Q.S. An Nisa : 1)
Menurut pandangan Islam, bahwa hak dan kewajiban pria dengan wanita sama dalam masyarakat bangsa dan dalam masyarakat dunia. Kalaupun ada berlebih dan berkurang, semata-mata terletak pada nilai takwanya :
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu terdiri dari pria dan wanita, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan berkabilah-kabilah saling-kenal satu sama lain. Sesungguhnya orang yang paling terhormat diantara kamu di sisi Allah, yaitu orang yang paling tinggi nilai takwa- nya (Q.S. Al Hujurat: 13)
Perintah menyembah Allah diiringi dengan perintah berbuat bakti kepada ayah/bunda. Pembaktian anak kepada ayah (pria) dan bunda (wanita) sama derajatnya :
Hendaklah kamu beribadat kepada Allah dan janganlah mempersekutukannya dengan sesuatu. Dan hendaklah kamu bakti kepada ayah-bundamu. (Q.S. An Nisa : 36)
Orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal-salih, baik ataupun wanita; mereka akan masuk sorga, dan sedikitpun mereka tidak dianiaya. (Q.S. An Nisa :124)

Dalam Al Qur-an terdapat ayat-ayat yang mencgaskan, bahwa tiap-tiap Mukmin yang berusaha, baik pria ataupun wanita, pasti akan mendapat balasan dan pahala sesuai dengan kadar amalannya, antaranya :
Janganlah kamu irihati terhadap kurnia Allah yang berlebih berkurang di antara kamu. Untuk kaum pria yang berusaha akan mendapat hasil menurut kadar usahanya ; demikian pula untuk kaum wanita yang berusaha, mereka akan mendapat hasil sesuai dengan usahanya. Mintalah kurnia Allah, sesungguhnya Allah mengetahui segala-galanya. (Q.S. An Nisa : 32)

Betapa besar   perhatian Allah kepada kaum wanita, antara lain terbukti bahwa dalam al Qur-an terdapat sebuah surat yang bernama "Surat An Nisa", Surat Wanita, di mana di dalamnya banyak dibicarakan masalah-masalah yang ada sangkut-paut dengan wanita dan masyarakatnya.

Dalam masalah jihad atau perang, dalam masalah negara, menurut Islam kewajiban pria dan wanita sama, artinya sama-sama wajib berjihad untuk menegakkan Agama Allah, sama-sama wajib berjihad untuk membela tanah-air, sama-sama wajib bekerja untuk memimpin dan membangun negara, seperti yang dapat dipahami dari Hadis-Hadis berikut :

Menurut sebuah Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari seorang Sahabat - Wanita, yang mengatakan : Kami pergi berperang bersama Rasul Allah, di mana antara lain tugas kami menyediakan makan dan minum bagi para prajurit ; mengembalikan anggota tentara yang syahid ke Madinah. (HR. Bukhari
.
Seorang Shahabat-Wanita yang lain berkata : Kami ikut perang bersama Rasul Allah sampai tujuh kali, di mana kami merawat perajurit yang luka, menyediakan makanan dan minuman bagi mereka. (HR Bukhari)

Mengenai hak wanita untuk memegang jabatan-jabatan dalam negara, jabatan yang tertinggi, dinyatakan boleh asal mereka sanggup dan mempunyai pengetahuan untuk bidang-bidang jabatan yang akan dipegangnya; sama seperti hak pria dalam hal tersebut.

Dalam sebuah kitab yang bernama "Safinatul Hukkam" ditegaskan bahwa wanita boleh menjadi raja atau Sulthan, asal memiliki syarat-syarat kecakapan dan ilmu pengetahuan. Berdasarkan dalil-dalil ayat  Al Qur-an dan Hadis-Hadis Nabi serta Pendapat para Ulama, maka Kerajaan Islam Perlak, Kerajaan Islam Samudra/Pase dan Kerajaan Aceh Darussalam, telah memberi kepada kaum wanita Aceh hak dan kewajiban yang sama dengan kaum pria.

Daftar Pustaka:
A Hasjmy, 59 TAHUN Aceh Merdeka di bawah Pemerintahan Ratu, cetekan I, Bintang Bulan, Jakarta, 1977





Sunday, 31 July 2016

Sejarah Aceh

pinterest.com

                                                        
Aceh adalah suatu daerah yang terletak dikawasan paling ujung dari bagian pulau sumatra, dengan luas wilayah 57.365,57 Km2. Dengan berbatasan langsung Samudra India di sebelah barat dan Malaka di sebelah Utara dan Timur menjadikan daerah ini kawasan yang sangat strategis dalam jalur pelayaran dan perdagangan  internasional hingga sekarang.

Belum pasti kapan dan siapa pertama kali mendiami daearah ini. Namun sejarawan Said ‘Alawi Thahir al-Haddad dalam bukunya’’Al-Madkhal ila Tarikh al-Islam fi al-syarq al-Aqsa’’menyebutkan sutu dokumen kuno dari Dinasti Cina, yang menceritakan pada tahun 518 M telah datang kepada raja Cina utusan dari kerajaan Puli yang terletak di Ujung Utara pulau Sumatra. Dokumen ini juga menceritakan bahwa kerajaan Puli terbagi kepada 136 wilayah dengan luas wilayah 50 hari perjalanan kaki dari Utara ke Selatan, dan 20 hari perjalanan kaki dari Barat ke Timur. Masyarakatnya menanam padi dua kali dalam setahun, pakaian mereka terbuat dari kapas/katun yang mereka tanam sendiri. Sedangkan  Raja mereka berpakaian Sutra, bertahtakan emas yang berhiaskan permata. Ia mengendarai sebuah kereta yang ditarik oleh seekor gajah. Agama mereka adalah budha. Hal ini membuktikan bahwa sejak abad ke 6 M. orang-orang yang mendiami daerah pesisir Aceh telah mengenal suatu tata cara kehidupan yang berperadaban cukup maju dibandingkan kawasan-kawasan lain di Nusantara, kecuali kawasan pinggiran sungai Mahakam di Kalimantan Timur, dimana kerajaan Hindu Kutai telah berdiri sejak abad Ke 5 Masehi, begitu juga kawasan Jawa Barate dengan Kerajaan Taruna Negara.

Masuk nya Islam

Seiring berkembang nya dakwah Islam pada abad ke-7 M (1 H), maka daerah pesisir Utara Aceh mulai disinggahi para pedagang Muslim dari Malabar di India atau langsung dari Jazirah Arab, sebagaimana disebutkan oleh L. Van Rijk Vorsel dalam bukunya’’riwayat Kepulauan Hindia Timur’’. Ia juga menyebutkan bahwa orang-orang Arab telah lebih dahulu tiba di Sumatera 750 tahun sebelum kedatangan Belanda ke sana. Melihat pada posisi strategis wilayah Aceh yang terletak pada jalur penting perdagangan antara India dan Cina, maka tidak mengherankan kalau kemudian Aceh menjadi daerah pertama di Asia Tenggara yang dimasuki da’wah Islam pada sekitar tahun 700 M.

Masa Kerajaan Islam
Para sejarawan memperkirakan bahwa proses Islamisasi sudah berlangsung sejak terjadinya persentuhan antara penduduk pribumi dengan para pedagang Arab tersebut. Namun kerajaan Islam baru muncul pada awal abad ke-9 M. Diantara kerajaan-kerajaan Islam yang pertama di Aceh adalah sebagai berikut;

1.   Kerajaan Peurelak dipesisir Timur Aceh yang berdiri tahun 804 M.
2.   Kerajaan Lamuri dipesisir Utara Aceh.
3.   Samudra Pasai dipesisir Utara Aceh.

Raja pertama kerajaan Islam Samudra Pasai bergelar Sultan Malikul Saleh yang sebelumnya bernama Meurah Silu dan beragama Hindu. Ia berhasil meningkatkan kehidupan masyarakat dan dapat mengembangkan perniaagaan internasional. Pada waktu itu pasai telah mampu mengekspor lada kira-kira 8000 sampai 10.000 ton pertahunnya. Selain lada, diekspor pula sutera, kapur barus, emas, cengkeh, pala, gading gajah,timah dan kulit penyu.

Dalam catatan perjalanan Marcopolo, seorang petualang terkenal dunia yang sampai di Aceh pada tahun 1292, wilayah Aceh yang terletak y ang terletak di ujung Utara Sumatra, masih terbagi atas beberapa wilayah kerajaan. Beberapa wilayah yang dikenal sebagai pusat perdagangan rempah-rempah dunia saat itu adalah kerajaan samudera pasai, kerajaan Malaka, dan Pidie. Marcopolo juga menyebutkan bahwa para pedagang Arab yang ada di samudera Pasai sangat giat dalam menyebarkan dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk setempat.

  Pada tahun 1345, seorang pengembara Arab Ibnu Bathuthah dalam perjalanannya dari Maroko ke Cina singgah dipesisir Utara Aceh. Ia menyebutkan bahwa di sana sudah ada kerajaan Samudra Pasai dimana raja dan penduduknya sudah ada beragama Islam. Mereka menggunakan uang emas dari Cina dan Raja nya mengendarai gajah serta kereta kerajaan. Hal ini mengindikasikan bahwa Samudra Pasai telah punya hubungan dengan Arab, India dan Cina.

Penafsiran asal mula kata Aceh

Tidak mengherankan  kalau kemudian dimasa sekarang, kata Aceh sering diartikan oleh sebagian orang dengan ‘’Arab, Cina, Eropa, dan Hindia,’’ karena kelima peradaban tersebut memang pernah eksis dan berkembang di Aceh, bahkan apabila kita perhatikan asal-usul keturunan, karakter dan wajah orang-orang Aceh saat ini, mayoritasnya pasti terdiri dari salah satu dari lima unsure tersebut diatas.

Singgahnya dua pengembara terkemuka dunia (Marcopolo dan Ibnu Bathuthah) di Aceh, membuktinya besar pengaruh dan peranan yang dimainkan oleh kerajaan Islam Aceh ketika itu, sehingga petualang tersebut merasa perlu untuk mengunjunginya.

Kerajaan Islam Aceh Darussalam

Pada awal abad ke 16 M, berdirilah kerajaan Islam Aceh Darussalam berbentuk kesultanan Aceh dengan raja pertamanya Sultan Ali Mughayat Syah (1513-1530) putra dari Sultan Syamsul Syah, dan cucu dari sultan Inayat Syah dari kerajaan Lamuri.  Kerajaan Aceh Darussalam yang lahir pada tanggal 12 Zulqa’idah 916 ( 1513 M ) adalah sebuah kerajaan Federasi yang terdiri dari:

A.  Kerajaan Islam Peurelak
B.  Kerajaan Islam Samudra Pasai
C.  Kerajaan Lamuri
D.  Kerajaan Islam Lamno Jaya  
E.   Kerajaa Lingge
F.   Kerajaan Islam Pedir
G.  Kerajaan Islam Teuming

       Peleburan kerajaan-kerajaan Islam Aceh dalam satu wadah itu kemudian diberi nama kerajaan Aceh Raya Darussalam. Atau lebih dikenal dengan dengan proklamasi samudra Pase. Kerajaan Aceh Darussalam mencapai masa keemasan-nya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda ( 1607-1636 ). Ia mampu menempatkan kerajaan Islam Aceh di peringkat kelima diantara kerajaan terbesar Islam di dunia pada abad ke-16. Kelima kerajaan Islam tersebut adalah sebagai berikut:

1.      Kerajaan Islam Turki Usmani di Istanbul
2.      Kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara
3.      Kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah
4.      Kerajaan Islam Akra di India
5.      Kerajaan Islam Aceh Darussalam di Asia Tenggara.

Sejak dulu, masyarakat Aceh dikenal berkarakter kuat. Mereka merupakan orang-orang yang tidak mudah menyerah. Karekter ini terbukti  saat pemerintahan Kolonial Belanda menguasai nusantara sekitar abad 16-20 M, Aceh adalah wilayah nusantara yang paling akhir dikuasai Belanda sekaligus memakan waktu paling lama untuk ditundukkan. Upaya Belanda Aceh berlangsung selama kurang lebih 30 tahun, yaitu sejak Maklumat perang kerajaan Belanda terhadap Aceh tanggal 26 Maret 1873 hingga 20 Januari 1903, yaitu dengan tertangkapnya raja terakhir Aceh, Sultan Muhammad Daud Syah. 

Tertangkapnya sultan Aceh terakhir, tidak berarti perang Belanda dengan Aceh juga berakhir, karena sultan Muhammad daud Syah tidak pernah mau menandatangani surat pernyataan menyerah kepada pihak Belanda hingga akhirnya dibuang ke Batavia dan meninggal di sana. Dan juga karena dalam kenyataan di lapangan, rakyat Aceh dibawah pimpinan para ulama dan panglima sagi terus-menerus berjuang tiada henti melawan Belanda hingga datangnya Jepang tahun 1942. Dengan demikian sesungguhnya perang Aceh melawan Belanda telah memakan waktu 69 tahun, sebagaimana diakui oleh pihak Belanda.

Kedaulatan Aceh
       Tidak berhasilnya Aceh dikuasai Belanda serta tidak adanya penyerahan kedaulatan Aceh dari Sultan kepada Belanda, merupakan salah satu di antara alasan utama yang berimplikasi sahnya kedaulatan kerajaan Aceh hingga saat ini menurut hokum internsional. Demikian menurut pendapat  Gerakan Aceh Merdeka Hasan Tiro.

            Setelah tertangkapnya sultan Aceh terakhir. Perang Aceh terus berlangsung dalam dua bentuk.
1.      Perang bersenjata yang dilanjutkan rakyat dibawah pimpinan para ulama, baik dalam bentuk perang 2gerilya yang menyeluruh maupun dalam bentuk perang gerilya berkelompok dan perseorangan.

2.      Perang politik yang ditandai dengan pembangunan kembali pusat-pusat pendidikan yang bernama Dayah dan organisasi-organisasi kemasyarakatan/keagamaan yang mengelola Dayah-dayah.

Pada tahun 1914, untuk pertama kalinya di Aceh berdiri partai Politik Syarikat Islam dengan Abdul Manaf dan Marah Hoesin Gelar Mangararaja Tagor sebagai ketua dan wakilnya. Organisasi baru ini didukung oleh ulama-ulama dan tokoh-tokoh  masyarakat yang baru turun dari medan gerilya. Pusat-pusat pendidikan yang baru dibangun kembali yang bernama Dayah, menjadi tanah subur bagi Syarikat Islam. Hal ini membuat penguasa Hindia Belanda di Aceh menjadi khwatir dan takut. Apalagi setelah berbagai pemberontakan terhadap Belanda melibatkan sejumlah tokoh Syrikat Islam, seperti peristiwa Bakongan  tahun 1925/1926. Akibat nya, Belanda menyatakan bahwa Syarikat Islam adalah partai terlarang di tanah Aceh. Belanda juga melarang berdirinya partai politik apapun di Aceh.

            Namun para ulama dengan tokoh masyarakat tidak kehilangan akal. Mereka kemudian beramai-ramai mendirikan organisasi sosial keagamaan yang merupakan organisasi politik terselubung. Tugas utama organisasi tersebut adalah mengurus pusat-pusat pendidikan yang bernama Dayah. Organisasi-organisasi ini berdiri sendiri di daerah masing-masing dan pada dhahirnya tidak punya hubungan satu sama lain, sekalipun gerak langkah  dan usahanya sama, yaitu membangun pendidikan dan membina kesadaran beragama dan berbangsa dikalangan rakyat.

       Pada tahun 1939, tokoh-tokoh dari organisasi sosial keagamaan, seperti Jam’iyah Diniyah, Jam’iyah Hasbiyah, Jam’iyah Madaniyah, Jam’iyah Najdyah, Jam’iyah Khairiyah dan sebagainya, sepakakat mendirikan oragnisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh ( PUSA ), dan Teungku Muhammad Daud Beureueh dipilih sebagai ketua umum nya. PUSA inilah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya Majelis Ulama Indonesia ( MUI ).

Kemampuan Teungku Muhammad Daud Beureueh memimpin organisasi baru ini, dengan dibantu oleh tokoh-tokoh ulama muda lainnya, menyebabkan PUSA dalam waktu singkat tumbuh menjadi organisasinbesa, berpengaruh dan sangat berhasil dalam menggerakkan kesadaran  dan kekuatan rakyat. Menurut Ali Hasjmy, PUSA sekalipun bukan organisasi politik, tetapi sepak terjangnya dalam perjuanagan kemerdekaan sama dengan partai politik yang radikal.

Menjelang Kedatangan Jepang

       Menjelang kedatangan Jepang di Indonesia, Ulama dan para tokoh perjuangan di Aceh mengambil suatu kebijakan politik yang amat penting, yaitu tidak bekerja sama dengan Belanda /sekutu dalam menghadapi Jepang. Gerakan perlawanan terhadap Belanda kembali memanas di berbagai daerah di Aceh. Sehingga sebelum Jepang mendarat di pantai Ujong Bate’, Aceh Besar pada tanggal 12 Maret 1942, seluruh tentara Belanda telah lari dari tanah Aceh.    

       Belum sampai setahun pendudukan Jepang atas Aceh, rakyat telah melihat kenyataan bahwa Jepang bukanlah pembebas bangsa-bangsa Asia yang terjajah, tapi ia juga penjajah sama seperti dengan Belanda. Perlawanan terhadap Jepang pun mulai bangkit. Tengku Abdul Jalil Cot Pling adalah salah satu tokoh ulama yang memimpin perlawanan ketika itu. Beliau beserta 105 pasuakannya Syahid setelah digempur Jepang dalam sebuah mesjid dikawasan Aceh Utara.

Menjelang Kemerdekaan Indonesia

       Ketika kekuatan rezim militer Jepang menyerah kepada kekuatan sekutu pada pada tahun 1945, atas nama rakyat Indonesia Soekarno mengambil momentum paling berharga ini untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan batas wilayah dari Sabang sampai Merauke, yaitu batas wilayah yang sebelumnya menjadi daerah jajahan Hindia Belanda.  

      Begitu berita proklamasi Indonesia diterima di Aceh, rakyat Aceh segera memberikan respon positif mendukung proklamasi tersebut. Hal ini terbukti dengan adanya ikrar kesetiaan dari 56 tokoh Aceh untuk mendukung kemerdekaan Republik Indonesia. Sumpah kesetiaan ini dilangsungkan pada tanggal 23 Agustus 1945 bertempat di gedung Shu Chokan ( kantor Residen Aceh, kini pendopo Gubernur ). ke 56 tokoh tersebut antara lain Teuku Nyak Arief dan Teungku Pangima Polim Muhammad Ali.

       Puncak dari dukungan terhadap Republik Indonesia yang baru lahir ini adalah ketika dikeluarkannya ‘’Maklumat Ulama Seluruh Aceh’’ tanggal 15 Oktober 1945 yang berisi Fatwa bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah sama dengan perjuangan suci yang disebut perang Sabil dan merupakan sambungan dari perjuangan Aceh terdahulu seperti perjuangan almarhum Teungku Chik Ditiro, dan pahlawan-pahlawan kebangsaan yang lain. Maklumat penting  ini ditanda tangani oleh empat (4) ulama besar yaitu, Tengku H. Hasan Krueng Kalee, Teungku Muhammad Daud Beureueh, Teungku H.Dja’far Sidik Lamjabat, Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri, serta diketahui oleh Teuku Nya’ Arief selaku Residen Aceh dan disetujui oleh Tuanku Mahmud selaku Ketua Komite Nasional.

Perang Cumbok

            Pada tahun 1946, terjadi sebuah tragedi besar di Aceh yang merenggut sekitar 1500 nyawa rakyat Aceh. Tragedi tersebut dikenal dengan istilah perang Cumbok, antara pasukan hulubalang Aceh yang dipimpin oleh Teuku Daud Cumbok dengan pasukan pejuang Aceh yang mendukung kemerdekaan RI.

       Sebagian orang menilai perang Cumbok adalah perang antara Ulama dengan Hulubalang yang sejak zaman Belanda selalu berseberangan, kalangan hulubalang dinilai selalu mengkhianati perjuangan ulama beserta para pejuang Aceh dalam menentang intimidasi penjajahan Belanda. Begitu pula setelah proklamasi, mereka dianggap tidak mendukung kemerdekaan dan menginginkan kembalinya kekuasaan Belanda di Aceh. Akan tetapi tidak semua hulubalang berseberangan dengan ulama. Tengku H. Hasan Krueng Kalee adalah salah seorang tokoh ulama yang tidak setuju dengan peperangan tersebut. Dan beliaulah yang diutus pihak pejuang Aceh di Kuta Raja untuk menemui Teuku Daud Cumbok agar mau berdamai. Tetapi ajakan itu ditolak dengan alasan ia tidak mungkin lagi mundur, setelah nama baik hulubalang tercemar akibat-akibat tuduhan yang belum terbukti tersebut.

Aceh Sebagai Daerah Modal   
       Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI dari Agresi I dan II Belanda (1947-1949), Aceh kembali menunjukkan jati dirinya sebagai pendukung sejati republik dan satu-satunya daerah yang tidak berhasil dimasuki kembali oleh Belanda. Sehingga dalam kunjungan pertamanya di Aceh Juni 1948 Presiden Soekarno sempat menegaskan bahwa Aceh dan segenap rakyat adalah modal pertama bagi kemerdekaan RI.

       Julukan Aceh daerah modal, bukanlah kata-kata tanpa makna, tapi dibuktikan langsung oleh para pejuang Aceh dalam kenyataan. Gubernur militer Aceh Mayor Jendral Teungku Daud Beureueh segera menggalang pengumpulan dana perjuangan dari segenap rakyat Aceh untuk membiayai pemerintah RI yang baru seumur jagung dan terancam bangkrut. Selang periode Oktober-Desember 1949 terkumpul 500.000 Dollar AS, dengan perincian 250.000 Dollar untuk keperluan angkatan perang ( cikal bakal TNI ), 50.000 Dollar untuk perkantoran pemerintah RI, 100.000 Dollar untuk pengembalian pemerintah RI dari Yogyakarta, dan 100.000 Dollar diserahkan kepada pemerintah lewat A.A. Maramis. Juga terkumpul sebanyak 5 kg emas untuk membeli Obligasi pemerintah. Rakyat Aceh juga mengumpulkan Dollar Singapura untuk membiayai perwakilan Indonesia di Singapura dan pendirian Kedubes RI di India.

Setahun sebelumnya ( 1948 ) rakyat Aceh juga menyanggupi permintaan Soekarno agar Aceh menyumbangkan dana untuk pembelian pesawat yang membantu transportasi pejabat pemerintah RI dalam upaya mencari dana perjuangan di luar negeri dan dalam upaya mengadakan kontak-kontak diplomatik antara tokoh-tokoh pejuang Indonesia dengan pemerintah India, Burma dan negara lainnya.

       Dua bulan setelah permintaan itu diajukan, saat menyambut tiga tahun kemerdekaan Indonesia, rakyat Aceh menyumbang dua pesawat Dakota RI 001 dan RI 002 kepada pemerintah pusat kemudian menjadi cikal bakal dari Garuda Airways. Selain dua pesawat, sebuah kapal laut berbobot 100 ton, berbagai peralatan senjata serta piranti telekomunikasi juga turut disumbangkan bagi perjuangan revolusi.

Kesetiaan Aceh Pada Indonesia   
              
       Di front Medan Area Sumatra Utara, pejuang Aceh ikut berperan aktif melawan tentara musuh. NICA Belanda yang ingin kembali menduduki wilayah Sumatra. Belasan ribu rakyat yang mengungsi dari Sumatra Timur, baik dari daerah Langkat ke arah Aceh Timur dan dari Deli Serdang dan Tanah Karo menuju Aceh Tenggara dan Tengah. Mereka ditampung dan dibantu oleh rakyat Aceh seperti saudara sendiri. Ribuan ton beras, ratusan kerbau dan sapi dikirim dari wilayah Aceh sebagai logistik bagi pejuang yang beroperasi di front Medan Area, Langkat dan Tanah Karo.

       Ujian terberat bagi kesetiaan Aceh terhadap Republik Indonesia adalah pada tanggal 17 Maret 1949, Wali negara Sumatra Timur, Dr. Tengku Mansur mengundang Tengku Daud Beureueh selaku Gubernur Militer Aceh untuk menghadiri suatu rapat yang diberi nama ‘’Muktamar Sumatra’’ yang akan membahas berdirinya ‘’Negara Republik Federasi Sumatera’’. Pada dasarnya gagasan ini berasal dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Mook. Belanda sangat berkepentingan agar Aceh ikut serta dalam dalam pembentukan “Republik Federasi Sumater” sebab dengan itu pembentukan atas Indonesia kembali dapat dipertahankan. Karena Aceh sebagai “Wilayah Modal” Republik Indonesia sudah berdiri sendiri dan tidak lagi memberi dukungan terhadap pejuang rakyat Indonesia di wilayah lain.

       Pada tanggal 20 Maret 1949 diadakan siding Staf Gubernur Militer Aceh serta sejumlah tokoh ulama untuk membahas ajakan Dr.Tengku Mansur Tersebut. Dalam sidang yang diwarnai perdebatan panas dan berlangsung dari jam 10 pagi sampai jam 23:00 menjelang tengah mala ini, muncul tiga pendapat; sebagian menerima ajakan tersebut, sebagian ingin memproklamasikan Aceh sebagai negara yang berdiri sendiri, dan sebagian lain tetap setia mempertahankan Republik Indonesia.

       Tengku H. Hasan Krueng Kalee adalah seorang ulama yang mengusulkan agar Aceh berdiri sendiri. Dengan pertimbangan bahwa roda pemerintahan Indonesia sudah lumpuh dan Aceh ketika itu punya sejarah dan kemampuan secara militer untuk berdiri sendiri, dimana seluruh senjata peniggalan Jepang berhasil dikuasai oleh pejuang Aceh. Disamping itu, menurut nya ia dan ulama-ulama lain mampu menggalang kekuatan rakyat untuk mendukung gagasan tersebut.

       Namun usulan ini mendapat tantangan keras dari dari Tengku Daud Beureueh. Beliau menegaskan bahwa kesetiaan rakyat Aceh terhadap pemerintah RI bukan dibuat-buat tetapi kesetiaan yang tulus dan ikhlas yang keluar dari hati nurani nya dengan perhitungan dan perkiraan yang pasti. Menurut nya kemerdekaan secara terpisah-pisah, negara pernegara tidak akan menguntungkan dan tidak akan membawa kepada kemerdekaan yang abadi. Dalam pidatonya beliau menegaskan:

“sebab itu, kita tidak bermaksud untuk membentuk suatu Aceh Raya, karena kita disini bersemangat Republiken. Untuk itu, undangan dari Wali Negara Sumatera Timur itu kita pandang sebagai tidak ada saja, dari karena itu tidak kita balas.

Akhirnya sidang Staf Gubernur Militer Aceh memutuskan untuk menolak ajakan Dr. Tengku Mansur, dan dengan penolakan Aceh maka bagi “Republik Federasi Sumatera” gugur dalam kandungan.

       Kesetiaan Aceh terhadap Republik juga dibuktikan dengan dukungan penuh segenap pejuang Aceh yang diberikan kepada pemerintah Darurat R.I ( PDRI ) di bawah pimpinan Syafruddin sejumlah tokoh nasional berhasil ditawan Belanda dan ibukota RI yang dipindahkan ke Yogyakarta telah berhasil diduduki.

       Tokoh-tokoh Aceh seperti Teungku Muhammad Daud Beureueh memegang peranan penting dalam pengiriman bantuan kepada Pemerintah Darurat yang bermarkas di Bukittinggi ini. Bahkan ketika situasi di Bukittinggi tidak aman, Presiden PDRI Syarifuddin Prawiranegara diminta Daud Beureueh hijrah ke Aceh dan mendapat sambutan hangat di sana. Dengan demikian pemerintahan RI masih dapat bertahan, karena masih ada Aceh sebagai satu-satunya wilayah RI yang tidak berhasil diduduki kembali oleh Belanda sepanjang perang Revolusi Fisik  ( 1945-1949 ).

       Dari stasiun radio yang berlokasi didalam hutan anatara Bireuen dan Takengon, disiarkan berita-berita jalan nya revolusi Indonesia dan bahwa pemerintahan Indonesia masih eksis. Berita-berita ini pula kemudian dimanfaatkan Dubes RI untuk PBB L.N Palar dan dr. Soedarsono selaku diplomat yang menghubungi India, untuk menunjukkan kepada dunia Internasional bahwa Republik Indonesia masih dapat bertahan bahkan masih memiliki wilayah Aceh secara “defacto” dan “dejure”, yang luasnya lebih besar dari negeri Belanda. Dengan realitas ini, Belanda akhirnya harus mengakui Indonesia meskipun dalam bentuk Republik Serikat dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag 27 Desember 1949.

       Dengan diterimanya hasil KMB dan terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) maka Indonesia resmi terbebas dari penjajah asing, dan pemerintahpun dapat mulai berjalan dengan semestinya. Namun hal ini bukan malah membawa dampak positif bagi rakyat Aceh, melainkan kekecewaan demi kekecewaan akibat kebijakan-kebijakan yang dijalankan pemerintah Republik terhadap daerah yang sebelumnya telah menjadi modal bagi lahirnya pemerintahan tersebut.

       Awal dari segala kekecewaan rakyat Aceh adalah sikap arogan pemerintah yang tanpa pertimbangan matang, melebur status provinsi Aceh ke dalam pemerintahan Provinsi Sumatra Utara, kurang dari delapan bulan setelah status Provinsi Aceh diberikan oleh Syafruddin Prawiranegara dengan ketetapan pemerintahan Darurat RI. No.8/Des/ WKPH tertanggal 17 Desember 1949. Pembubaran provinsi Aceh dilakukan oleh Kabinet Halim Perdana Kusumah dengan peraturan pemerintah pengganti UU No.5 Thn. 1950, yang ditanda-tangani Pejabat Presiden Mr.Asaat dan Mendagri Susanto Tirtoprojo dari PNI, sesudah berlangsungnya Sidang Dewan Mentri RIS tanggal 8 Agustus 1950 di Jakarta.

       Dengan keputusan tersebut, rakyat Aceh menilai bahwa perjuangan mereka selama ini untuk mendukung kemerdekaan RI ternyata dibalas dengan air tuba oleh pemerintah RI sendiri. Apalagi mengingat janji Presiden Soekarno, saat pertama kali berkunjung ke Aceh pada 16 Juni 1948, Presiden atas nama Allah pernah bersumpah akan memberikan hak kepada Aceh untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai Syariat Islam. Soekarno berjanji akan mempergunakan pengaruhnya agar rakyat Aceh nantinya benar-benar dapat melaksanakan Syari’at Islam di daerahnya. Janji ini pada kenyataannya tidak pernah terealisir pada masa soekarrno, malah justru Provinsi Aceh dibubarkan dan dilikuidasi ke Provinsi Sumatera Utara. Satu hal yang kemudian menjadi salah satu faktor pemicu lahirnya gerakan Darul Islam dibumi serambi Mekkah tersebut. 

Untuk lebih lengkapnya dapat dibaca dalam buku yang menarik karya Mutiara Fahmi Razali, PERGOLAKAN ACEH DALAM PERSPEKTIF SYARIAT, Cetakan Kedua, Yayasan PeNA Banda Aceh, Rabi"ul Awal 1435 H / Januari 2014  



Terima kasih telah membaca Sejarah Aceh

           
Sumber :
Mutiara Razali Fahmi, PERGOLAKAN ACEH DALAM PERSPEKTIF SYARIAT, Cetakan Kedua,
Yayasan PeNA Banda Aceh, Rabi"ul Awal 1435 H / Januari 2014