Setelah Majapahit runtuh pada permulaan abad XVI maka berkembanglah agama Islam dengan
pesatnya di Indonesia, bersamaan dengan itu berkembang pulalah
kerajaan-kerajaan Islam seperti kerajaan Demak, dan mulailah berdatangan
orang-orang Eropa di Nusantara. Mereka itu antara lain orang Portugis kemudian
diikuti oleh orang-orang Sepanyol yang ingin mencari pusat tanaman
rempah-rempah.
Bangsa
asing yang masuk ke Indonesia yang awalnya berdagang adalah orang-orang bangsa
Portugis.
Namun
lama kelamaan bangsa Portugis mulai menunjukkan peranannya dalam bidang
perdagangan yang meningkat menjadi praktek penjajahan misalnya Malaka sejak
tahun 1511 dikuasai oleh Portugis.
Pada
akhir abad ke XVI bangsa Belanda datang pula ke Indonesia dengan menempuh jalan
yang penuh kesulitan. Untuk menghindarkan persaingan diantara mereka sendiri
(Belanda), kemudian mereka mendirikan suatu perkumpulan dagang yang bernama
V.O.C., (verenigde Oost Indische
Compagnie), yang dikalangan rakyat dikenal dengan Istilah “Kompeni”
Praktek-praktek
VOC mulai kelihatan dengan paksaan-paksaan sehingga rakyat mulai mengadakan
perlawanan. Mataram dibawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) berupaya
mengadakan perlawanan dan menyerang ke Batavia pada tahun 1628 dan tahun 1929,
walaupun tidak berhasil meruntuhkan namun Gubernur Jendral J.P. Coen tewas
dalam serangan sultan agung yang kedua itu.
Bebarapa
saat setelah sultan Agung mangkat maka mataram menjadi bagian kekuasaan
kompeni, bangasa Belanda mulai memainkan peranan politiknya dengan licik di
Indonesia.
Di
Makasar yang memiliki kedudukan yang sangat vital berhasil juga dikuasai oleh
kompeni tahun (1667) dan timbullah perlawanan dari rakyat makasar di bawah
Hasanudin.
Menyusul
pula wilayah Banten (Sultan Ageng Tirtoyoso) dapat ditundukkan oleh Kompeni
pada tahun 1684.
Perlawanan
Trunojoyo, Untung Suropati di Jawa Timur pada akhir abad ke XVII nampaknya
tidak mampu meruntuhkan kekuasaan kompeni pada saat itu.
Demikian
pula ajakan Ibnu Iskandar pimpinan armada dari Minangkabau untuk mengadakan
perlawanan bersama terhadap kompeni juga tidak mendapat sambutan yang hangat.
Perlawanan
bangsa Indonesia terhadap penjajah yang terpencar dan tidak memiliki koordinasi
tersebut banyak mengalami kegagalan sehingga banyak menimbulkan korban bagi
anak-anak bangsa. Demikianlah Belanda pada awalnya menguasai daerah-daerah yang
strategis dan kaya akan hasil rempah-rempah pada abad ke XVII dan nampaknya
semakin memperkuat kedudukannya dengan didukung oleh kekuatan militer.
Pada
abad itu sejarah mencatat bahwa Belanda berusaha dengan keras untuk memperkuat
dan mengintensifkan kekuasaannya di seluruh Indonesia. Mereka ingin membulatkan
hegemoninya sampai kepelosok-pelosok nusantara kita.
Melihat
praktek-praktek penjajahan Belanda tersebut maka meledaklah perlawanan rakyat
diberbagai wilayah nusantara, antara lain
1. Patimuara di Maluku (1817)
2. Baharudin di Palembang (1819)
3. Imam Bonjol di Minangkabau (182-1837)
4. Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1825-1830)
5. Jlentik, Polim, Teuku Tjik Di Tiro, Teuku Umar dalam
perang Aceh (1860)
6. Anak Agung Made dalam perang Lombok (1894-1895)
7. Sisingamangaraja di tanah Batak (1900)
Dan masih banyak perlawanan
rakyat di berbagai daerah di nusantara.
Dorongan akan cinta
tanah air menimbulkan semangat untuk melawan penindasan dari bangsa Belanda.
Namun sekali lagi
karena tidak adanya kesatuan dan persatuan
dia antara mereka dalam perlawanan melawan penjajah, maka perlawanan
tersebut senantiasa kandas dan menimbulkan banyak korban.
Penghisapan mulai
memuncak ketika Belanda mulai menerapkan sistem monopoli melalui tanam paksa
(1830-1870) dengan memaksakan beban kewajiban terhadap rakyat yang tidak
berdosa.
Penderitaan rakyat
semakin menjadi-jadi dan Belanda sudah tidak peduli lagi dengan ratap
penderitaan tersebut, bahkan mereka semakin gigih dalam menghisap rakyat untuk
memperbanyak kekayaan bangsa Belanda.
Terimakasih telah Sejarah
“Zaman Penjajahan” Di Indonesia, jangan pernah lupakan jasa-jasa para pejuang,
karena iuran keringat para pejuanlah kita bisa menikmati kehidupan yang tentram
dan damai seperti sekarang ini.
Sumber:
Kaelan,M.S,
PENDIDIKAN PANCASILA, PARADIGMA, Yogyakarta, 2004, hlm. 32-34
No comments :
Post a Comment