pages

Wednesday, 19 October 2016

Sejarah “Zaman Penjajahan” di Indonesia

Setelah Majapahit runtuh pada permulaan abad XVI maka berkembanglah agama Islam dengan pesatnya di Indonesia, bersamaan dengan itu berkembang pulalah kerajaan-kerajaan Islam seperti kerajaan Demak, dan mulailah berdatangan orang-orang Eropa di Nusantara. Mereka itu antara lain orang Portugis kemudian diikuti oleh orang-orang Sepanyol yang ingin mencari pusat tanaman rempah-rempah.

Bangsa asing yang masuk ke Indonesia yang awalnya berdagang adalah orang-orang bangsa Portugis.

Namun lama kelamaan bangsa Portugis mulai menunjukkan peranannya dalam bidang perdagangan yang meningkat menjadi praktek penjajahan misalnya Malaka sejak tahun 1511 dikuasai oleh Portugis.

Pada akhir abad ke XVI bangsa Belanda datang pula ke Indonesia dengan menempuh jalan yang penuh kesulitan. Untuk menghindarkan persaingan diantara mereka sendiri (Belanda), kemudian mereka mendirikan suatu perkumpulan dagang yang bernama V.O.C., (verenigde Oost Indische Compagnie), yang dikalangan rakyat dikenal dengan Istilah “Kompeni”

Praktek-praktek VOC mulai kelihatan dengan paksaan-paksaan sehingga rakyat mulai mengadakan perlawanan. Mataram dibawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) berupaya mengadakan perlawanan dan menyerang ke Batavia pada tahun 1628 dan tahun 1929, walaupun tidak berhasil meruntuhkan namun Gubernur Jendral J.P. Coen tewas dalam serangan sultan agung yang kedua itu.

Bebarapa saat setelah sultan Agung mangkat maka mataram menjadi bagian kekuasaan kompeni, bangasa Belanda mulai memainkan peranan politiknya dengan licik di Indonesia.
Di Makasar yang memiliki kedudukan yang sangat vital berhasil juga dikuasai oleh kompeni tahun (1667) dan timbullah perlawanan dari rakyat makasar di bawah Hasanudin.
Menyusul pula wilayah Banten (Sultan Ageng Tirtoyoso) dapat ditundukkan oleh Kompeni pada tahun 1684.

Perlawanan Trunojoyo, Untung Suropati di Jawa Timur pada akhir abad ke XVII nampaknya tidak mampu meruntuhkan kekuasaan kompeni pada saat itu.
Demikian pula ajakan Ibnu Iskandar pimpinan armada dari Minangkabau untuk mengadakan perlawanan bersama terhadap kompeni juga tidak mendapat sambutan yang hangat.

Perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah yang terpencar dan tidak memiliki koordinasi tersebut banyak mengalami kegagalan sehingga banyak menimbulkan korban bagi anak-anak bangsa. Demikianlah Belanda pada awalnya menguasai daerah-daerah yang strategis dan kaya akan hasil rempah-rempah pada abad ke XVII dan nampaknya semakin memperkuat kedudukannya dengan didukung oleh kekuatan militer.

Pada abad itu sejarah mencatat bahwa Belanda berusaha dengan keras untuk memperkuat dan mengintensifkan kekuasaannya di seluruh Indonesia. Mereka ingin membulatkan hegemoninya sampai kepelosok-pelosok nusantara kita.

Melihat praktek-praktek penjajahan Belanda tersebut maka meledaklah perlawanan rakyat diberbagai wilayah nusantara, antara lain

1.    Patimuara di Maluku (1817)
2.    Baharudin di Palembang (1819)
3.    Imam Bonjol di Minangkabau (182-1837)
4.    Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1825-1830)
5.    Jlentik, Polim, Teuku Tjik Di Tiro, Teuku Umar dalam perang Aceh (1860)
6.    Anak Agung Made dalam perang Lombok (1894-1895)
7.    Sisingamangaraja di tanah Batak (1900)

Dan masih banyak perlawanan rakyat di berbagai daerah di nusantara.

Dorongan akan cinta tanah air menimbulkan semangat untuk melawan penindasan dari bangsa Belanda.

Namun sekali lagi karena tidak adanya kesatuan dan persatuan  dia antara mereka dalam perlawanan melawan penjajah, maka perlawanan tersebut senantiasa kandas dan menimbulkan banyak korban.

Penghisapan mulai memuncak ketika Belanda mulai menerapkan sistem monopoli melalui tanam paksa (1830-1870) dengan memaksakan beban kewajiban terhadap rakyat yang tidak berdosa.

Penderitaan rakyat semakin menjadi-jadi dan Belanda sudah tidak peduli lagi dengan ratap penderitaan tersebut, bahkan mereka semakin gigih dalam menghisap rakyat untuk memperbanyak kekayaan bangsa Belanda.

Terimakasih telah Sejarah “Zaman Penjajahan” Di Indonesia, jangan pernah lupakan jasa-jasa para pejuang, karena iuran keringat para pejuanlah kita bisa menikmati kehidupan yang tentram dan damai seperti sekarang ini.


Sumber:
Kaelan,M.S, PENDIDIKAN PANCASILA, PARADIGMA, Yogyakarta, 2004, hlm. 32-34






No comments :

Post a Comment