pages

Sunday 4 September 2016

Kisah Perjuangan Daud Beureueh Melalui Gerakan DI/TII

Daud Beureueh
Sang pejuang sekaligus ulama muda yang cukup dikagumi oleh rakyat Aceh adalah sosok yang tidak asing ditelinga masyarakat Aceh, yaitu Teungku M. Daud Beureueh, namanya akan selalu hidup dihati masyarakat  Aceh,  hal  ini tidak terlepas dari kharisma beliau yang santun dan tegas dalam memimpin perjuangan untuk membela Islam dan memperjuangkan harkat dan martabat bangsa Aceh.

Mengenal Sosok Daud Beureueh
Teungku M. Daud Beureueh dilahirkan pada 15 September 1899 di sebuah kampung bernama "Beureueh", daerah Keumangan, Kabupaten Aceh Pidie. Kampung Beureueh adalah sebuah kampung heroik Islam, sama seperti kampung Tiro. Ayahnya seorang ulama yang berpengaruh di kampungnya dan mendapat gelar dari masyarakat setempat dengan sebutan "Imeuem (imam) Beureueh". Teungku Daud Beureueh tumbuh dan besar di lingkungan religius yang sangat ketat. Ia tumbuh dalam suatu formative age yang sarat dengan nilai-nilai Islam di mana hampir saban magrib Hikayat Perang Sabil dikumandangkan di setiap meunasah (masjid kampung). Ia juga memasuki masa dewasa di bawah bayang-bayang keulamaan ayahnya yang sangat kuat mengilhami langkah hidupnya kemudian.

Orang tuanya memberi nama Muhammad Daud (dua nama Nabiyullah yang diberikan kitab Alquran dan Zabur). Dari penamaan ini sudah terlihat, sesungguhnya yang diinginkan orang tuanya adalah bila besar nanti ia mampu mengganti posisi dirinya sebagai ulama sekaligus mujahid yang siap membela Islam. Karena itu, pada masa-masa usia sekolah, ayahnya tidak memasukkan beliau ke lembaga pendidikan resmi yang dibuat Belanda seperti: Volkschool, Goverment Indlandsche School, atau HIS. Namun lebih mempercayakan kepada lembaga pendidikan yang telah lama dibangun ketika masa kerajaan Islam dahulu semodel dayah/zawiyah. Yang menjiwai ayahnya adalah semangat anti-Belanda/penjajah yang masih sangat kuat. Apalagi ketika itu Aceh masih dalam suasana perang di mana gema Hikayat Perang Sabil masih nyaring di telinga masyarakat Aceh.

Dalam pusat pendidikan semacam ini, Daud Beureueh ditempa dan dididik dalam mempelajari tulis-baca huruf Arab, pengetahuan agama Islam (seperti fikih, hadis, tafsir, tasawuf, mantik, dsb), pengetahuan tentang sejarah Islam, termasuk sejarah tatanegara dalam dunia Islam di masa lalu, serta ilmu-ilmu lainnya. Dari latar belakang pendidikan yang diperolehnya ini, tidak disangsikan lagi, merupakan modal bagi keulamaannya kelak.

Sekalipun tidak mendapatkan pendidikan Belanda, namun dengan kecerdasan dan kecepatannya berpikir, beliau mampu menyerap segala ilmu yang diberikan kepadanya itu, termasuk bahasa Belanda. Kebiasaannya mengkonsumsi ikan, yang merupakan kebiasaan masyarakat Aceh, telah membuatnya menjadi quick-learner (mampu belajar cepat).

Kemampuan yang luar biasa ini, sebagian besar karena ia merasa menuntut ilmu adalah wajib. Maka belajar tentang segala sesuatu, dipersepsikannya hampir sama dengan "mendirikan shalat". Dalam usia yang sangat muda, 15 tahun, ia sudah menguasai ilmu-ilmu Islam secara mendalam dan mempraktekkannya secara konsisten. Dengan segera pula ia menjadi orator ulung, sebagai "singa podium." Ia mencapai popularitas yang cukup luas sebagai salah seorang ulama di Aceh. Karena itu, beliau mendapat gelar "Teungku di Beureueh" yang kemudian orang tidak sering lagi menyebut nama asli beliau, tetapi nama kampungnya saja. Ketenaran seorang tokoh di Aceh senantiasa melekat pada kharisma kampungnya. Kampung adalah sebuah entitas politik yang pengaruhnya ditandai dengan tokoh-tokoh perlawanan. Dari kenyataan ini, seorang yang terlahir dari sebuah entitas resisten, tidak akan pernah berhenti melawan sebelum cita-cita tercapai. Kendatipun pihak lawan menggunakan segala daya dan upaya untuk membungkam perlawanan tersebut. (Lihat: http://media.isnet.org/ diakses 04/09/2016)

Usaha Daud Bereueh Untuk Memisahkan Aceh Dari Indonesia

Usaha Daud  Beureueh dalam  rangka memisah Aceh dari republik Indonesia, diperjuangkan melalui sebuah pergerakan,  Gerakan ini adalah sebuah gerakan bersenjata pimpinan Teungku Muhammad Daud Beureu’eh yang bertujuan memisahkan wilayah Aceh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menggabungkan Aceh sebagai salah satu Negara Bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) yang dirproklamirkan oleh Imam Kartosuwiryo pada tanggal 21 Syawal 1368 H/ 7Agustus 1949.

Pada tanggal 21 September 1953, Gerakan Daud Beureu’eh atau lebih dikenal dengan nama Gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) secara resmi diproklamasikan di Bumi Serambi Mekah.
Proklamasi itu berbunyi sebagai berikut :

Proklamasi
Berdasarkan pernyataan Negara Republik Islam Indonesia pada tanggal 21 Syawal 1368 / 7 Agustus 1949 oleh Imam Kartosuwiryo atas nama umat Islam Indonesia, maka dengan ini kami nyatakan Daerah Aceh dan sekitarnya menjadi bagian dari pada Negara Islam Indonesia.
Atas nama umat Islam Daerah Aceh dan sekitarnya.
Ttd.
Teungku Muh.Daud Bereueh
Tertanggal
Aceh Darussalam, 13 Muharram 1373 / 21 September 1953

Dari isi proklamasi di atas, jelas terlihat bahwa apa yang diinginkan oleh Gerakan DI/TII di Aceh dan Tgk. Daud Beureueh selaku tokoh utama gerakan tersebut adalah berdirinya Negara Islam Indonesia menggantikan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD’45.
Isi proklamasi tersebut juga sama sekali tidak mencerminkan adanya ‘Ashabiyah (fanatisme kesukuan) yang ingin ditonjolkan. Bahkan nama “Indonesia” masih tetap digunakan sebagai kata pemersatu bagi batas wilayah Negara Islam yang ingin didirikan, di mana daerah Aceh dan sekitarnya menjadi salah satu Negara Bagian dari NII tersebut.(lihat: Mutiara Fahmi Razali, PERGOLAKAN ACEH DALAM PERSPEKTIF SYARIAT, Yayasan PeNa Banda Acehcetakan kedua, 2014, hlm.29-30)

Semenjak itu, Daud Beureuh memegang peranan sangat penting di dalam pergolakan-pergolakan di Aceh, dalam mengejar cita-citanya menegakkan keadilan di bumi Allah dengan dilandasi ajaran syariat Islam. Sehingga, umat Islam dapat hidup rukun, damai dan sentosa sebagaimana yang dulu pernah diperbuat oleh raja-raja Islam sebelum mereka. Menurut catatan Compton, "M Daud Beureueh berbicara tentang sebuah Negara Islam untuk seluruh Indonesia, dan bukan cuma untuk Aceh yang merdeka. Ia meyakinkan, kemerdekaan beragama akan dijamin di negara semacam itu, dengan menekankan contoh mengenai toleransi besar bagi penganut Kristen dalam negara-negara Islam di Timur Dekat. Kaum Kristen akan diberi kebebasan dan dilindungi dalam negara Islam Indonesia, sedangkan umat Islam tidak dapat merasakan kemerdekaan sejati kalau mereka tidak hidup dalam sebuah negara yang didasarkan atas ajaran-ajaran Alquran.(Op Cit : http://media.isnet.org/ diakses 04/09/2016)

BACA JUGA:

setelah pemerintah pusat berjanji akan memberikan hak penuh untuk menjalankan hukum Syariat Islam bagi Rakyat Aceh. Jalan damaipun dicapai tanpa ada pihak yang harus dihukum mati. Amnesti juga diberikan kepada seluruh pejuang Republik Islam Aceh. Dan untuk lebih memperkuat rekonsiliasi yang telah dicapai, maka pada tanggal 22 Desember 1962, sebuah upacara yang diberi nama musyawarah kerukunan Rakyat Aceh (MKRA) digelar di Blang Padang Banda Aceh. Musyawarah ini melahirkan “Ikrar Blang Padang” yang ditanda tangani 17 tokoh penting Aceh. Sejak itu, suasana daerah Istimewa Aceh relatif kembali aman dan tentram, hingga munculnya babak baru gerakan kemerdekaan di Aceh menjelang Pemilu tahun 1977.(Op Cit, hlm.43)

daftar pustaka:
http://media.isnet.org/ (diakses 04/09/2016)
Mutiara Fahmi Razali, PERGOLAKAN ACEH DALAM PERSPEKTIF SYARIAT, Yayasan PeNa Banda Acehcetakan kedua, 2014



      


No comments :

Post a Comment