pages

Tuesday, 13 September 2016

Sejarah Tentang Kedaulatan Teori Kedaulatan Rakyat

Sumber: www.iwanttotravelcheap.com

Ajaran dari kaum monarkomaken tersebut, khususnya ajaran dari Johannes Althusius, diteruskan oleh para sarjana dari aliran hukum alam, tetapi yang terakhir ini mencapai kesimpulan baru, yaitu bahwa semula individu-individu itu dengan melalui perjanjian masyarakat membentuk masyarakat, dan kepada masyarakat inilah para individu itu menyerahkan kekuasaannya, yang selanjutnya masyarakat inilah yang menyerahkan kekuasaan tersebut kepada raja. Jadi sesungguhnya raja itu mendapatkan kekuasaannya dari individu-individu tersebut.

Sekarang persoalannya timbul lagi, yaitu dari manakah individu-individu itu mendapatkan kekuasaannya ? sebab mereka ini harus mempunyai terlebih dahulu sebelum dapat memberikan kekuasaan itu kepada raja. Jawaban mereka ialah bahwa individu-individu tersebut mendapatkan kekuasaan itu dari hukum alam. Ingat disini yang dimaksud adalah hukum alam dari abad ke XVII dan abad Ke XVIII, bukan hukum alam dari kaum monarkomaken tadi.

Jadi hukum alam inilah kalau begitu yang menjadi dasar daripada kekuasaan raja, maka dengan demikian kekuasaan raja lalu dibatasi oleh hukum alam, dan oleh karena raja tadi mendapatkan kekuasaannya dari rakyat, maka kalau demikian yang mempunyai kekuasaan tertinggi itu adalah rakyat, jadi yang berdaulat itu adalah rakyat, raja itu hanya merupakan pelaksana dari apa yang telah diputuskan atau dikehendaki oleh rakyat. Maka timbul idea baru tentang kedaulatan, yaitu kedaulatan rakyat, yang antara lain dipelopori, atau malahan orang mengatakan diciptakan oleh J.J. Roussea. Yang ajarannya telah diuraikan pada waktu membicarakan ajaran hukum alam.

Tetapi baiklah kiranya perlu diingat kembali bahwa yang dimaksud dengan rakyat oleh Rousseau itu bukanlah penjumlahan daripada individu-individu itu, melainkan adalah kesatuan yang dibentuk oleh individu-individu itu, dan yang mempunyai kehendak, kehendak mana diperolehnya dari individu-individu tersebut melalui perjanjian masyarakat, yang oleh Rousseau kehendak tadi disebut kehendak umum atau volonte generale, yang dianggap mencerminkan kekuasaan atau kehendak umum. sebab kalau yang dimaksud dengan rakyat itu adalah penjumlahan dari pada individu-individu di dalam negara itu, maka kehendak yang ada padanya bukanlah kehendak umum atau volonte generale, malainkan volonte de tous.

Maka apabila dalam suatu negara pemerintahan itu di pegang oleh beberapa atau segolongan orang, yang sebetulnya ini merupakan kesatuan tersendiri didalam negara itu, dan yang mempunyai kehendak tersendiri yang disebut volonte de corps, akibatnya volonte generale ini akan jatuh bersamaan dengan volonte de corps tadi. Dan apabila pemerintahan itu hanya dipegang oleh satu orang tunggal saja, yang orang ini juga mempunyai kehendak tersendiri yang disebut volonte particuliere, maka akibatnya volonte generale akan jatuh bersamaan dengan volonte particuliere itu. 

Jadi kalau begitu pemerintahan itu harus dipegang oleh rakyat, setidak-tidaknya rakyat itu mempunyai perwakilan di dalam pemerintahan agar volonte generale tadi dapat terwujudkan.
Selain itu perlu juga diingat bahwa yang dimaksud oleh Rousseau dengan kedaulatan rakyat itu pada prinsipnya adalah cara atau sistem yang bagaimanakah pemecahan suatu soal itu menurut cara atau sistem tertentu yang memenuhi kehendak umum . Jadi kehendak umum itu hanyalah khayalan saja yang bersifat abstrak, dan kedaulatan itu adalah kehendak umum itu.

Teori kedaulatan rakyat ini anatara lain juga diikuti oleh Immanuel Kant, yaitu yang mengatakan bahwa tujuan negara itu adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan daripada para warganegaranya. Dalam pengertian bahwa kebebasan di sini adalah kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan, sedangkan undang-undang di sini yang berhak membuat adalah rakyat itu sendiri. Maka kalau begitu undang-undang itu adalah merupakan penjelmaan daripada kemauan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang mewakili kekuasaan tertinggi, atau kedaulatan.

Sebagai kesimpulan daripada pembicaraan tentang souvereiniteit ini adalah, bahwa kiranya orang tidak perlu terlalu menteoritiser ada pada siapakah kedaulatan itu sehari-harinya dilaksanakan, karena yang kita usahakan adalah apa yang dilaksanakan. Misalnya saja sesuatu negara itu menganut teori kedaulatan rakyat, dan itu ketentuannya dicantumkan didalam undang-undang dasar daripada negara tersebut. Kalau pada suatu waktu ketentuan tersebut diubah menjadi kedaulatan hukum, dan rakyat tidak diberi tahu, maka ya tidak akan mengetahui dan merasa bahwa kedaulatan yang dianut oleh negara itu telah diubah. Orang atau rakyat baru akan tahu apabila itu telah dilaksanakan.

Tentang pengesahan kekuasaan. Ini adalah persoalan bagaimanakah kita dapat mengakui kekuasan organisasi negara tersebut terhadap diri kita sendiri. Terhadap persoalan ini, yaitu persoalan terhadap legitimasi daripada kekuasaan negara, kita tidak dapat mengadakan dasar-dasar yang hipotesis, oleh karena kita dapat mengakui atau tidak terhadap kekuasaan tersebut, itu sangat tergantung pada cara bagaimanakah organisasi negara itu sendiri dalam melakukan kekuasaan atau tugasnya.

Dalam hal ini kita harus membedakan, bahkan lebih tegas memisahkan antara organisasi itu sendiri, yaitu negara, dengan organ-organ atau alat-alat perlengkapan, atau badan-badan yang menjalankan organisasi itu. Jadi bila kita mempersoalkan pengesahan kekuasaan atau legitimasi  dari organisasi negara, jangan dicampur-adukkan dengan pengesahan kekuasaan atau persoalan legitimasi daripada badan-badan yang menjalankan organisasi itu. Misalnya organisasi kekuasaan dari negara kita sendiri, itu harus kita bedakan atau kita pisahkan dengan kepala negaranya, majelis permusyawaratan rakyatnya, dewan perwakilan rakyatnya dan seterusnya, yang memegang kekuasaan daripada organisasi negara itu. Selanjutnya juga harus kita bedakan atau kita pisahkan antara Kepala Negara itu sendiri misalnya, dengan orang yang memegang jabatan Kepala Negara itu.

Menagapa demikian ? hal tersebut adalah penting sekali, oleh karena, misalnya, jatuhnya orang yang menjalankan atau memegang jabatan itu atau organisasi itu, tidak pasti atau belum tentu mengakibatkan jatuhnya organisasinya. Tetapi jatuhnya organisasi itu sendiri selalu membawa akibat artian jatuhnya badan-badan yang menjalankan organisasi itu, dengan sendirinya juga jatuhkan orang-orang yang memegang jabatan dari badan tersebut. (lihat: Soehino, ilmu negara,Liberty, Jogyakarta,1986, hlm. 160-162)


Sumber :
Soehino, ILMU NEGARA, Liberty, Jogyakarta,1986



      

   

No comments :

Post a Comment