Dari para penganut teori
kedaulatan negara ini menyatakan, bahwa kedaulatan itu tidak ada pada tuhan,
seperti yang dikatakan oleh para penganut teori kedaulatan Tuhan
(Gods-souvereiniteit), tetapi ada pada negara, negaralah yang menciptakan
hukum, jadi segala sesuatu harus tunduk kepada negara. Negara di sini dianggap
sebagai suatu keutuhan yang menciptakan peraturan-peraturan hukum, jadi adanya
hukum itu karena adanya negara, dan tiada satu hukumpun yang berlaku jika tidak
dikehendaki oleh negara.
Penganut teori kedaulatannegara ini antara lain adalah Jean Bodin, dan Georg Jellinek.
Ajaran kedaulatan negara
dari Jean Bodin kiranya tidak perlu diulangi pembicaraannya, karena sudah
disinggung dimuka, karenanya cukuplah diperiksa kembali.
Hanya perlu kiranya di sini
diperhatikan bahwa pada hakekatnya teori kedaulatan negara itu atau
Staats-souvereiniteit, hanya menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi itu ada pada
negara, entah kekuasaan itu sifatnya absolut, entah sifatnya terbatas, dan ini
harus dibedakan dengan pengertian ajaran Staats-ansolutisme. Karena dalam
ajaran Staats-souvereiniteit itu pada prinsipnya hanya dikatakan bahwa
kekuasaan tertinggi itu ada pada negara, kekuasaan tertinggi ini mungkin
bersifat absolut, tetapi mungkin juga bersifat terbatas. Sedang dalam ajaran
Staats-absolutisme dikatakan bahwa kekuasaan negara itu sifatnya absolut, jadi
berarti tidak mungkin bersifat terbatas, dalam arti bahwa negara itu
kekuasaannya meliputi segala segi kehidupan masyarakat, sehingga mengakibatkan
para warga negara itu tidak lagi mempunyai kepripadian.
Selain itu bahwa dalam
Staats-souvereiniteit dapat bersamaan dengan liberalisme. Sedangkan kalau dalam
Staats-absolutisme tidak dapat. Hal ini logis dan dapat dimengerti bahwa soal
itu berhubungan erat dengan soal kebebasan warga negara, padahal kebebasan
waraga negara merupakan masalah yang prinsipiil dalam setiap negara.
Teori kedaulatan negara ini
juga dikemukakan oleh Georg Jellinek. Pada pokoknya Jellinek mengatakan bahwa
hukum itu adalah merupakan penjelmaan daripada kehendak atau kemauan negara.
Jadi juga negaralah yang menciptakan hukum, maka negara dianggap satu-satunya
sumber hukum, dan negaralah yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan.
Di luar negara tidak ada satu organpun yang berwenang menetapkan hukum.
Maka dalam hal ini lalu
berarti bahwa adat kebiasaan, yaitu hukum yang tidak tertulis, yang bukan
dikeluarkan atau dibuat oleh negara, tetapi yang nyata-nyata berlaku di dalam
masyarakat, tidak merupakan hukum. Dan memang demikian juga kalau menurut Jean
Bodin; sedangkan kalau menurut Jellinek adat kebiasaan itu dapat menjadi hukum,
apabila itu sudah ditetapkan oleh negara sebagai hukum.
Terhadap teori kedaulatan
ini kiranya ada yang mengajukan keberatan. Kalau hukum itu sudah dianggap
merupakan perwujudan atau penjelmaan daripada kemauan atau kehendak negara, dan
baru mempunyai kekuatan berlaku apabila telah ditetapkan oleh negara, lalu
bagaimanakah kenyataannya.
Kenyataannya ialah bahwa
negara itu sendiri tunduk kepada hukum. Demikian pendapat Leon Duguit, periksa
bukunya: Traite De Droit Constitutionel, juga krabbe dalam bukunya : Kritische
Darstellung der staatslehre, dan bukunya yang lain Die Lehre der
Rechts-souvereiniteit. Yang pokoknya Krabbe menentang pendapat Jellinek itu,
karena pendapatnya tersebut menurut Krabbe bertentangan dengan kenyataan.
Terhadap keberatan tersebut
Jellinek mempertahankan pendapatnya dengan mengemukakan ajaran Selbstbindung,
yaitu ajaran yang mengatakan bahwa negara dengan suka rela mengikatkan dirinya
atau mengaharuskan dirinya tunduk kepada hukum sebagai penjelmaan dari
kehendaknya sendiri.
Tetapi terhadap ajaran
selbstbindung inipun masih dikemukakan persoalan atau keberatan lagi, ialah
karena ajaran Staats-souvereiniteit itu tidak membedakan antara negara dengan
organ-organnya, tegasnya tidak membedakan dengan tegas antara negara dengan
pemerintah. Sebab pada hakekatnya negara itu merupakan suatu hal yang bersifat
abstrak, jadi hanya merupakan suatu abstraksi saja, dan negara itu dapatnya
berbuat hanya kalau melalui organ-oragannya, pemerintahnya, malahan tegasnya
orang-orannya. Jadi dengan demikian ajaran Selbstbindung tersebut bukan
selbstbindung dari negara, tetapi selbstbindung dari organ-organnya atau
pemerintah, jadi orang-orangnya.
Persoalan selanjutnya ialah,
apakah yang merupakan faktor daripada Selbstbindung tersebut ? jawaban terhadap
persoalan ini ialah bahwa pertama-pertama dalam lapangan hukum itu sudah barang
tentu disamping faktor-faktor kemasyarakatan juga ada faktor-faktor ideal yaitu
rasa hukum, kesadaran hukum, dan rasa keadilan. Ini adalah jawaban dari
Jellinek yang merupakan faktor daripada Selbstbindung tersebut.
Bagaimana selanjutnya,
menurut krabbe hal-hal tersebut sesungguhnya terletak di atas negara; dengan
demikian maka lalu di atas negara masih ada barang sesuatu yang souvereiniteit,
yang berdaulat yaitu kesadaran hukum tadi, jadi menurut Krabbe yang berdaulat
itu bukanlah negara, tetapi hukumlah yang berdaulat. Maka dengan demikian
timbullah ajaran baru lagi tentang kedaulatan, yaitu teori kedaulatanhukum.
Sumber:
Soehino,Ilmu Negara,Liberti,Yogyakarta,1986 hlm. 154-156
No comments :
Post a Comment