pages

Thursday 8 September 2016

Sejarah Tentang Teori Kedaulatan Negara

sumber: travelandleisure.com

Dari para penganut teori kedaulatan negara ini menyatakan, bahwa kedaulatan itu tidak ada pada tuhan, seperti yang dikatakan oleh para penganut teori kedaulatan Tuhan (Gods-souvereiniteit), tetapi ada pada negara, negaralah yang menciptakan hukum, jadi segala sesuatu harus tunduk kepada negara. Negara di sini dianggap sebagai suatu keutuhan yang menciptakan peraturan-peraturan hukum, jadi adanya hukum itu karena adanya negara, dan tiada satu hukumpun yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh negara.

Penganut teori kedaulatannegara ini antara lain adalah Jean Bodin, dan Georg Jellinek.
Ajaran kedaulatan negara dari Jean Bodin kiranya tidak perlu diulangi pembicaraannya, karena sudah disinggung dimuka, karenanya cukuplah diperiksa kembali.

Hanya perlu kiranya di sini diperhatikan bahwa pada hakekatnya teori kedaulatan negara itu atau Staats-souvereiniteit, hanya menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi itu ada pada negara, entah kekuasaan itu sifatnya absolut, entah sifatnya terbatas, dan ini harus dibedakan dengan pengertian ajaran Staats-ansolutisme. Karena dalam ajaran Staats-souvereiniteit itu pada prinsipnya hanya dikatakan bahwa kekuasaan tertinggi itu ada pada negara, kekuasaan tertinggi ini mungkin bersifat absolut, tetapi mungkin juga bersifat terbatas. Sedang dalam ajaran Staats-absolutisme dikatakan bahwa kekuasaan negara itu sifatnya absolut, jadi berarti tidak mungkin bersifat terbatas, dalam arti bahwa negara itu kekuasaannya meliputi segala segi kehidupan masyarakat, sehingga mengakibatkan para warga negara itu tidak lagi mempunyai kepripadian.

Selain itu bahwa dalam Staats-souvereiniteit dapat bersamaan dengan liberalisme. Sedangkan kalau dalam Staats-absolutisme tidak dapat. Hal ini logis dan dapat dimengerti bahwa soal itu berhubungan erat dengan soal kebebasan warga negara, padahal kebebasan waraga negara merupakan masalah yang prinsipiil dalam setiap negara.

Teori kedaulatan negara ini juga dikemukakan oleh Georg Jellinek. Pada pokoknya Jellinek mengatakan bahwa hukum itu adalah merupakan penjelmaan daripada kehendak atau kemauan negara. Jadi juga negaralah yang menciptakan hukum, maka negara dianggap satu-satunya sumber hukum, dan negaralah yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan. Di luar negara tidak ada satu organpun yang berwenang menetapkan hukum.
Maka dalam hal ini lalu berarti bahwa adat kebiasaan, yaitu hukum yang tidak tertulis, yang bukan dikeluarkan atau dibuat oleh negara, tetapi yang nyata-nyata berlaku di dalam masyarakat, tidak merupakan hukum. Dan memang demikian juga kalau menurut Jean Bodin; sedangkan kalau menurut Jellinek adat kebiasaan itu dapat menjadi hukum, apabila itu sudah ditetapkan oleh negara sebagai hukum.

Terhadap teori kedaulatan ini kiranya ada yang mengajukan keberatan. Kalau hukum itu sudah dianggap merupakan perwujudan atau penjelmaan daripada kemauan atau kehendak negara, dan baru mempunyai kekuatan berlaku apabila telah ditetapkan oleh negara, lalu bagaimanakah kenyataannya.

Kenyataannya ialah bahwa negara itu sendiri tunduk kepada hukum. Demikian pendapat Leon Duguit, periksa bukunya: Traite De Droit Constitutionel, juga krabbe dalam bukunya : Kritische Darstellung der staatslehre, dan bukunya yang lain Die Lehre der Rechts-souvereiniteit. Yang pokoknya Krabbe menentang pendapat Jellinek itu, karena pendapatnya tersebut menurut Krabbe bertentangan dengan kenyataan.

Terhadap keberatan tersebut Jellinek mempertahankan pendapatnya dengan mengemukakan ajaran Selbstbindung, yaitu ajaran yang mengatakan bahwa negara dengan suka rela mengikatkan dirinya atau mengaharuskan dirinya tunduk kepada hukum sebagai penjelmaan dari kehendaknya sendiri.

Tetapi terhadap ajaran selbstbindung inipun masih dikemukakan persoalan atau keberatan lagi, ialah karena ajaran Staats-souvereiniteit itu tidak membedakan antara negara dengan organ-organnya, tegasnya tidak membedakan dengan tegas antara negara dengan pemerintah. Sebab pada hakekatnya negara itu merupakan suatu hal yang bersifat abstrak, jadi hanya merupakan suatu abstraksi saja, dan negara itu dapatnya berbuat hanya kalau melalui organ-oragannya, pemerintahnya, malahan tegasnya orang-orannya. Jadi dengan demikian ajaran Selbstbindung tersebut bukan selbstbindung dari negara, tetapi selbstbindung dari organ-organnya atau pemerintah, jadi orang-orangnya.

Persoalan selanjutnya ialah, apakah yang merupakan faktor daripada Selbstbindung tersebut ? jawaban terhadap persoalan ini ialah bahwa pertama-pertama dalam lapangan hukum itu sudah barang tentu disamping faktor-faktor kemasyarakatan juga ada faktor-faktor ideal yaitu rasa hukum, kesadaran hukum, dan rasa keadilan. Ini adalah jawaban dari Jellinek yang merupakan faktor daripada Selbstbindung tersebut.

Bagaimana selanjutnya, menurut krabbe hal-hal tersebut sesungguhnya terletak di atas negara; dengan demikian maka lalu di atas negara masih ada barang sesuatu yang souvereiniteit, yang berdaulat yaitu kesadaran hukum tadi, jadi menurut Krabbe yang berdaulat itu bukanlah negara, tetapi hukumlah yang berdaulat. Maka dengan demikian timbullah ajaran baru lagi tentang kedaulatan, yaitu teori kedaulatanhukum. 

Sumber:
Soehino,Ilmu Negara,Liberti,Yogyakarta,1986 hlm. 154-156



No comments :

Post a Comment