pages

Monday, 5 September 2016

Sejarah dan kisah tentang kehidupan Ali bin Abi Thalib

Siapa yang tidak kenal dengan Ali bin Abi  Thalib, sosok yang dikagumi oleh banyak orang ini merupakan saudara sekaligus sahabat Rasulullah SAW. Beliau merupakan salah seorang sahabat  yang telah dijamin masuk surga, berdasarkan hadist berikut:

“Dari Abdurrahman bin ‘Auf, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Abu Bakr di syurga, Umar di syurga, Utsman di syurga, Ali di syurga, Thalhah di syurga, Az Zubair di syurga, Abdurrahman bin ‘Auf di syurga, Sa’d di syurga, Sa’id di syurga, dan Abu Ubaidah ibnul Jarrah di syurga.” [HR At Tirmidzi (3747), hadits shahih.]

Ali adalah nama yang  diberikan langsung oleh Rasulullah yang sebelumnya beliau sempat dinamai oleh ibunya Asad dan Haidar sedangkan ayahnya juga pernah memberikan nama kepada Ali kecil yaitu Zaid, Sayyidina Ali lahir pada tanggal 13 Rajab, sekitar 610 M, yakni 23 tahun sebelum Hijrah. Sayyidina Ali sangat dekat dengan Nabi Muhammad SAW,  beliau merawat sepupu kecilnya ini dan menamainya Ali, serta mengatakan bahwa ini adalah nama yang ditetapkan Allah untuknya. Diantara sekian kunyah-nya (nama panggilan yang mengungkapkan rasa hormat), yang paling terkenal adalah Abul HasanAbus Sibtain dan Abu Turab. Gelar-gelarnya adalah Murtadha(yang terpilih), Amirul Mukminin (Pemimpin kaum Mukmin), Imamul Muttaqin (Imam orang-orang bertakwa).

Ibn Abil Hadid, pensyarah kitab Nahjul Balaghah mengutip perkataan Ibn Abbas. Kata Abbas, “Pernah aku bertanya kepada ayahku: ‘Ayah, sepupuku Muhammad memiliki banyak anak, yang semuanya meninggal ketika masih kecil, siapa diantara mereka yang paling dicintai?’ Ayahnya menjawab, “Ali bin Abi Thalib.” Aku berkata, “Ayah, yang aku tanyakan tentang anak-anaknya?” Dia menjawab, “Nabi Muhammad SAW mencintai Ali lebih dari mencintai seluruh putranya. Ketika Ali masih kecil, aku tak pernah melihat dia terpisah dari Muhammad barang setengah jam sekalipun, kecuali kalau Nabi SAW bepergian untuk beberapa urusan. Aku tidak pernah melihat seorang ayah mencintai anaknya sebesar Nabi SAW mencintai Ali dan aku tidak pernah melihat seorang anak sedemikian patuh, sedemikian lengket dan mencintai ayahnya seperti Ali mencintai Nabi SAW.”

Ali bin Abi Thalib mulai bertindak sebagai pengawal Nabi SAW bahkan ketika usia 14 tahun. Para pemuda Quraisy, atas anjuran orang tua mereka, sering melempari Nabi dengan batu. Ali memenuhi tugas sebagai pembela Nabi. Dia jatuhkan para pemuda itu, merobek hidung satu musuh, merontokkan gigi musuh lainnya serta membanting yang lainnya. Dia sering bertarung melawan orang-orang yang lebih tua darinya. Dia sendiri sering terluka, tapi dia tidak pernah meninggalkan tugas yang dia pilih sendiri. Selang beberapa hari, dia mendapat nama panggilan Qadhim (pembanting) dan tidak seorang pun berani melempar sesuatu kepada Nabi ketika Ali mendampinginya dan dia tidak akan pernah membiarkan Nabi pergi sendirian. Pengorbanannya pada malam menjelang hijrah dan perjungannya di seluruh medan tempur adalah bukti nyata kecintaannya yang amat mendalam kepada Nabi SAW.(lihat: buletinmitsal.wordpress.com. diakses 5 September 2016)

Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri nabi sendiri. Pada titik ini Ali berusia sekitar 10 tahun.

Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari nabi Muhammad SAW,  karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan nabi hal ini berkelanjutan hingga dia menjadi menantu nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah 'Ihsan') atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan nabi khusus kepada dia tapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.

Karena bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing.
Didikan langsung dari nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior) atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.(lihat: Wikipedia.Org.Diakses 5 September 2016)

Ali Bin Abi Thalib atau lebih dikenal dengan sebutan Sayyidina Ali, beliau adalah sosok yang sangat bijaksana dalam melakukan tindakan apapun, hal ini dapat kita lihat ketika dalam peperangan, Talha ibn Abi Talha bukan hanya musuh sengit Islam, tapi juga musuh Nabi SAW dan Sayyidina Ali. Upayanya untuk mencelakakan kedua orang ini serta misinya sudah menjadi fakta historis.Dalam perang Uhud, dia adalah pengusung panji pasukan Quraisy. Ali menghadapi dia dan berduel dengannya, menyerang dia dengan pukulan telak hingga terhuyung-huyung dan jatuh tersungkur. Ali meninggalkannya dalam keadaan terjatuh. Banyak panglima Muslim memerintahkan agar Ali menghabisinya, dengan mengatakan bahwa dia adalah musuhnya yang paling jahat. Ali menjawab: “Musuh atau bukan musuh, sekarang dia tidak berdaya, dan aku tidak bisa menyerang seseorang yang tidak berdaya. Jika dia bisa bertahan biarkan saja dia hidup selagi masih berumur.” Dalam Perang Jamal, di tengah pertempuran budaknya Qambar membawa sedikit air dan berkata: Tuanku, matahari amat panas dan Anda masih terus akan bertempur, meminum segelas air dingin ini bisa menyegarkan Anda? Dia melihat sekitarnya dan menjawab: “Bisakah aku minum ketika beratus-ratus orang mati terkapar dan sekarat karena kehausan dan terluka parah? Daripada membawakan air untukku, bawa sedikit orang dan kasih minum setiap orang yang terluka ini.” Qambar menjawab: “Tuanku, mereka semuanya musuh kita.” Dia berkata:“Mungkin mereka musuh kita, tapi mereka manusia. Pergilah dan rawat mereka.”(Op Cit.)

Ali bin Abi Thalib mempunyai istri beberapa orang istri, Ali menikah lagi dengan istri yang lain  setelah wafat nya Fatimah az-Zahra.  Berikut nama-nama para istrinya.

  1. Fatimah az-Zahra
  2. Khawlah binti Ja'far al-Hanafiah
  3. Al-Sahba' binti Rabi'ah
  4. Umamah binti Zainab
  5. Ummu Banin fatimah binti Hizam bin Khalid
  6. Laila binti Mas'ud bin Khalid At-Tamim
  7. Asma' binti Umais
  8. Ummu Sa'id binti Urwah bin mas'ud
  9. Ash-Shahba' Ummu Habibah binti Zam'ah
  10. Mahyat binti Imru'u Al-qias bin Adi
Banyak keturunan Ali yang tewas terbunuh dalam Pertempuran Karbala. Keturunannya yang masih ada saat ini merupakan para keturunan dari Hasan dan Husain (anak Fatimah), Muhammad bin al-Hanafiyah (anak Haulah), Abbas (anak Ummul Banin), dan Umar (anak Sahba).

Keturunan Ali melalui Fatimah dikenal dengan Syarif atau Sayyid, yang merupakan gelar kehormatan dalam Bahasa Arab, Syarif berarti bangsawan dan Sayyed berarti tuan. Sebagai keturunan langsung Nabi Muhammad, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi'ah. Keturunan Ali secara kesuluruhan dari para istrinya dikenal sebutan dengan Alawiyin atau Alawiyah.(Op Cit)

Sumber:
Wikipedia.org
buletinmitsal.wordpress.com.




No comments :

Post a Comment