pages

Sunday, 11 September 2016

Sejarah Tentang Teori Kedaulatan Hukum


Sumber: http:pintarhukum.com
Menurut teori kedaulatan hukum atau Rechts-souvereiniteit tersebut yang memiliki bahkan yang merupakan kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara itu adalah hukum itu sendiri. Kerena baik raja atau penguasa maupun rakyat atau warganegara, bahkan negara itu sendiri semuanya tunduk kepada hukum. Semua sikap, tingkah laku dan perbuatannya harus sesuai atau menurut hukum. Jadi menurut Krabbe yang berdaulat itu adalah hukum.
Lalu kalau demikian apakah yang menjadi sumber hukum itu ? menurut Krabbe yang menjadi sumber hukum itu adalah rasa hukum yang terdapat di dalam masyarakat itu sendiri. Rasa hukum ini dalam bentuknya yang masih sederhana, jadi yang masih bersifat primitif atau yang tingkatannya masih rendah disebut instink hukum. Sedangkan dalam bentuknya yang lebih luas atau dalam tingkatnya yang lebih tinggi disebut kesadaran hukum.

Dengan ajarannya yang demikian itu tadi, maka dapatlah dikatakan bahwa Krabbe itu dalam banayak hal terpengaruh oleh aliran Historis, yaitu suatu aliran yang berkembang sesudah revolusi Prancis. Aliran Historis ini anatara lain dipelopori oleh Von Savigny, yang mengatakan bahwa hukum itu harus tumbuh didalam masyarakat itu sendiri, berdasarkan kesadaran hukum yang terdapat di dalam masyarakat tersebut. Maka tidaklah mengherankan bahwa aliran ini menolak hukum yang dikodifikasikan oleh Napoleon, oleh karena hukum tersebut adalah hukum asing, yaitu hukum Romawi.
Jadi menurut Krabbe hukum itu tidaklah timbul dari kehendak negara, dan dia memberikan kepada hukum suatu kepribadian tersendiri. Dan hukum itu berlaku terlepas dari pada kehendak negara.

Sekarang persoalannya : bagaimanakah hukum itu dapat berlaku terhadap negara, sedangkan hukum itu sendiri terlepas dari negara ? dalam hal ini Krabbe mendasarkan teorinya, bahwa tiap-tiap individu itu mempunyai rasa hukum dan bila rasa hukum itu telah berkembang menjadi kesadaran hukum. Rasa hukum itu terdapat pada diri tiap-tiap individu disamping rasa-rasa lainya, misalnya rasa susila, rasa keindahan, rasa keagungan dan sebagainya. Jadi kesadaran hukum itu adalah salah satu fungsi dari pada jiwa manusia, yang mengadakan reaksi terhadap perbuatan-perbuatan manusia dalam perhubungannya dengan manusia-manusia lain dalam kehidupannya bermasyarakat.

Dengan demikian menurut Krabbe hukum itu adalah merupakan penjelmaan daripada salah satu bagian dari perasaan manusia. Terhadap banyak hal manusia itu mengeluarkan perasaannya, sehingga orang dapat membedakan adanya bermacam-macam norma, dan norma-norma itu sebetulnya terlepas dari kehendak kita, oleh karena itu kita lalu mau tidak mau tentu mengeluarkan reaksi, untuk menetapkan mana yang baik, mana yang adil dan sebagainya.

Jadi terhadap banyak hal itu kita tidak bersikap acuh taka acuh. Begitulah maka sumber daripada hukum itu terdapat dalam perasaan kita, dan ternyatalah bahwa sumber dan berlakunya hukum itu berada diluar kehendak kita, atau tegasnya berada di luar kehendak negara.

Bagaimanakah tanggapan sarjana-sarjana lainnya terhadap pendapat Krabbe ini ? kiranya ada juga yang tidak dapat menerima, dan oleh karena itu diajukanlah keberatan. Sarjana ini adalah Prof.Mr.Dr.AAH. Struycken, dengan bukunya yang terkenal : Het Staatsreacht van het koninkrijk der Nederlanden, terbit pada tahun 1928.

Terhadap pendapat Krabbe tersebut di atas Struycken mengatakan bahwa pendapat Krabbe itu adalah lemah. Sebab rasa hukum itu tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum, oleh karena rasa hukum itu selalu akan berubah-ubah pada setiap masa, dan rasa hukum itu akan berbeda dari golongan yang satu dengan rasa hukum dari golongan yang lain, apalagi dari manusia yang satu dengan manusia yang lain. Rasa hukum dari A misalnya tidak akan sama dengan rasa hukum dari B. Bahkan  rasa-rasa hukum dari si A tadi pada waktu sekarang, misalnya, akan mungkin sekali berbeda dengan rasa hukum si A itu sendiri 5 tahun yang akan datang. Dengan demikian maka tidak aka ada rasa hukum yang umum, maka rasa hukum itu tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum, sebab kalau hukum itu didasarkan pada rasa hukum daripada tiap-tiap individu , tidak akan tercapai hukum yang bersifat umum, akan tetapi akibatnya malahan akan menimbulkan anarki.

Pendapat Krabbe tersebut di atas, yang dikemukakan didalam bukunya Die Lehre Rechts-souveranitat, diterbitkan pada tahun 1906, yang kemudian disanggah oleh Struycken secara tajam di dalam bukunya: Recht en Gezag, Een critische beschouwing van Krabbe’s Moderne Staats-idee, diterbitkan pada tahun 1916, dijawab atau malahan tegasnya dibela oleh Kranenburg, periksa bukunya Algemene Staatsleer, buku ini diterbitkan pada tahun 1937.

Dalam hubungan ini Kranenburg membela pendapat Krabbe yang disanggah oleh Struycken tadi, dengan mengemukakan hukum keseimbangan, atau postulat keseimbangan. Menurut Kranenburg setelah diadakan penyelidikan secara empiris analytis, memang ternyata bahwa di dalam masyarakat itu terdapat ketentuan tetap dalam reaksi kesadaran hukum manusia. Yaitu bahwa setiap orang itu bersikap atau berkeyakinan, bahwa setiap orang itu adalah berkesamaan hak terhadap penerimaan keuntungan atau kerugian, atau terhadap keadilan dan ketidak adilan, kecuali apabila ada syarat-syarat khusus yang menentukan lain.

Jadi menurut Krenenburg sanggahan atau kritikan Struycken terhadap Krabbe tersebut adalah tidak benar. Sebab Krabbe tidak mengatakan bahwa rasa hukum atau kesadaran hukum dari setiap orang itu adalah sama dalam segala hal, akan tetapi di situ ada suatu unsur yang sama, yaitu adanya ketentuan tetap dalam reaksi kesadaran hukum manusia. Inilah yang menyebabkan adanya suatu keseimbangan.

Cobalah pikirkan, dalam hal ini Kranenburg member keterangan sebagai berikut : bahwa hukum positif tidak dapat ditetapkan menurut sekehendaknya sendiri oleh kekuasaan pemerintah pemerintah, akan tetapi terdapatlah kecendrungan untuk memperhatikan rasa hukum atau kesadaran hukum dari masyarakat. Sebab kalau tidak demikian, artinya pemerintah itu melakukan tindakan atau melaksanakan kekuasaan dengan tidak pantas, akan selalu timbul atau terdapat reaksi kesadaran hukum masyarakat, oleh karena di dalam masyarakat itu selalu terdapat ketentuan tetap dalam reaksi kesadaran hukumnya, ini memungkinkan timbulnya aksi yang bertujuan sama. Reaksi itun dapat timbul secara lamban, dalam bentuk kebiasaan, misalnya. Atau dalam bentuk yurispudensi. Tetapi dapat pula secara cepat dalam bentuk hukum revolusi. Inilah yang akan memelemahkan kekuasaan penguasa. Dan dengan demikian pula hal tersebut merupakan jawaban atas sanggahan Struycken.

Tetapi kiranya Kranenburg sendiri salah terima dengan apa yang dikatakan oleh Struycken, karena Struycken hanya mengatakan bahwa kesadaran hukum itu tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum, karena memang di dalam jiwa manusia itu tidak hanya bergerak kesadaran hukum saja, banyak masih hal-hal yang menggerakkan jiwa manusia.
Hal ini memang dikatakan oleh Kranenburgsendiri, dan sekaligus menolak teori kedaulatan hukum Krabbe, dengan alasan oleh karena kesadaran hukum itu, yaitu kesadaran hukum rakyat, dalam arti kata biasa, bukanlah satu-satunya kekuatan yang bergerak dalam psyche manusia, terdapat pula kekuatan-kekuatan lain yang bergerak. Dan tergantung pula kepada imbangan masing-masing kekuatan itu, dalam mengusainya atau tidak kesadaran hukum itu, dan hal yang belakangan ini ada hubungannya yang erat dengan tabiat rakyat. Periksa seterusnya Algemene Staatsleer.

Demikianlah perkembangan daripada teori-teori kedaulatan, yang pada pokoknya akan mencari dasar hukum yang kuat bagi kekuasaan penguasa. Yang meskipun tujuannya sama, namun semuanya itu sangat dipengaruhi, bahkan ditentukan oelh keadaan yang mereka alami. Pokoknya bagaimana kekuasaan yang ada pada penguasa itu. Maka demikian pula usaha orang pada waktu timbulnya kekuasaan raja yang absolut, sebagai akibat daripada ajaran yang berkembang pada jaman abad pertengahan dan pada jaman renaissance.

Pada jaman abad pertengahan kekuasaan raja itu didasarkan atas kekuasaan tuhan, ingat misalnya ajaran dari Agustinus dan Thomas Aquinas. Baru kemudian agak mendapatkan kemajuan pada ajaran dari Marsilius. Tetapi malahan justru ajaran Marsilius inilah yang menimbulkan kekuasaan raja-raja bersifat absolut.

Keadaan ini nanti diperkuat dengan ajaran-ajaran pada jaman renaissance. Yaitu dengan ajaran Niccolo Machiavelli den Jean Bodin. Niccolo Machiavelli dengan ajarannya Staats-raison, sedangkan Jean Bodin dengan ajarannya Staats-souvereiniteit. Maka dengan ini kekuasaan raja menjadi semakin absolut. Keabsolutannya itu sedemikian rupa, sehingga raja dapat berbua apa saja, baik dalam lapangan keduniawian, maupun dalam lapangan agama.

Maka tidaklah mengherankan kalau rakyat yang sedemikian tertindas oleh tindakan raja yang sewenang-sewenang itu lalu merasa perlu bahkan merupakan suatu keharusan mencari dasar-dasar baru bagi kekuasaan raja menjadi semakin absolut. Keabsolutannya itu sedemikian rupa, sehingga raja dapat berbuat apa saja, baik dalam lapangan keduniawian, maupun dalam lapangan agama.

Maka tidaklah mengherankan kalau rakyat yang sedemikian tertindas oleh tindakan raja yang sewenang-wenang itu lalu merasa perlu bahkan merupakan suatu keharusan mencari dasar-dasar baru bagi kekuasaan raja, agar dengan itu kekuasaan raja dapat dibatasi, setidak-tidaknya raja tidak lagi dapat bertindak dengan sewenang-wenang, dan dengan demikian hak-hak daripada rakyat terjamin.

Usaha ini sudah dimulai oleh kaum monarkomaken dengan Johannes Althusius sebagai pelopornya, Althusius di dalam ajarannya tidak lagi mendasarkan kekuasaan raja itu atas kehendak Tuhan, tetapi atas kekuasaan rakyat, kekuasaan yang ada pada rakyat itu diperolehnya dari suatu hukum yang tidak tertulis, yang disebut hukum alam kodrat. Dan rakyat menyerahkan kekuasaannya itu kepada raja dalam suatu perjanjian yang disebut perjanjian penundukan. (lihat: Soehino, ilmu negara,Liberty, Jogyakarta,1986, hlm. 156-159)       

Sumber:
Soehino, ILMU NEGARA,Liberty, Jogyakarta,1986



No comments :

Post a Comment