Sumber: http:pintarhukum.com |
Menurut teori kedaulatan hukum atau Rechts-souvereiniteit
tersebut yang memiliki bahkan yang merupakan kekuasaan tertinggi di dalam suatu
negara itu adalah hukum itu sendiri. Kerena baik raja atau penguasa maupun rakyat
atau warganegara, bahkan negara itu sendiri semuanya tunduk kepada hukum. Semua
sikap, tingkah laku dan perbuatannya harus sesuai atau menurut hukum. Jadi
menurut Krabbe yang berdaulat itu adalah hukum.
Lalu kalau demikian apakah yang menjadi sumber hukum itu
? menurut Krabbe yang menjadi sumber hukum itu adalah rasa hukum yang terdapat
di dalam masyarakat itu sendiri. Rasa hukum ini dalam bentuknya yang masih
sederhana, jadi yang masih bersifat primitif atau yang tingkatannya masih
rendah disebut instink hukum. Sedangkan dalam bentuknya yang lebih luas atau
dalam tingkatnya yang lebih tinggi disebut kesadaran hukum.
Dengan ajarannya yang demikian itu tadi, maka dapatlah
dikatakan bahwa Krabbe itu dalam banayak hal terpengaruh oleh aliran Historis,
yaitu suatu aliran yang berkembang sesudah revolusi Prancis. Aliran Historis
ini anatara lain dipelopori oleh Von Savigny, yang mengatakan bahwa hukum itu
harus tumbuh didalam masyarakat itu sendiri, berdasarkan kesadaran hukum yang
terdapat di dalam masyarakat tersebut. Maka tidaklah mengherankan bahwa aliran
ini menolak hukum yang dikodifikasikan oleh Napoleon, oleh karena hukum
tersebut adalah hukum asing, yaitu hukum Romawi.
Jadi menurut Krabbe hukum itu tidaklah timbul dari
kehendak negara, dan dia memberikan kepada hukum suatu kepribadian tersendiri.
Dan hukum itu berlaku terlepas dari pada kehendak negara.
Sekarang persoalannya : bagaimanakah hukum itu dapat
berlaku terhadap negara, sedangkan hukum itu sendiri terlepas dari negara ?
dalam hal ini Krabbe mendasarkan teorinya, bahwa tiap-tiap individu itu
mempunyai rasa hukum dan bila rasa hukum itu telah berkembang menjadi kesadaran
hukum. Rasa hukum itu terdapat pada diri tiap-tiap individu disamping rasa-rasa
lainya, misalnya rasa susila, rasa keindahan, rasa keagungan dan sebagainya.
Jadi kesadaran hukum itu adalah salah satu fungsi dari pada jiwa manusia, yang
mengadakan reaksi terhadap perbuatan-perbuatan manusia dalam perhubungannya
dengan manusia-manusia lain dalam kehidupannya bermasyarakat.
Dengan demikian menurut Krabbe hukum itu adalah merupakan
penjelmaan daripada salah satu bagian dari perasaan manusia. Terhadap banyak
hal manusia itu mengeluarkan perasaannya, sehingga orang dapat membedakan
adanya bermacam-macam norma, dan norma-norma itu sebetulnya terlepas dari
kehendak kita, oleh karena itu kita lalu mau tidak mau tentu mengeluarkan
reaksi, untuk menetapkan mana yang baik, mana yang adil dan sebagainya.
Jadi terhadap banyak hal itu kita tidak bersikap acuh
taka acuh. Begitulah maka sumber daripada hukum itu terdapat dalam perasaan
kita, dan ternyatalah bahwa sumber dan berlakunya hukum itu berada diluar
kehendak kita, atau tegasnya berada di luar kehendak negara.
Bagaimanakah tanggapan sarjana-sarjana lainnya terhadap
pendapat Krabbe ini ? kiranya ada juga yang tidak dapat menerima, dan oleh
karena itu diajukanlah keberatan. Sarjana ini adalah Prof.Mr.Dr.AAH. Struycken,
dengan bukunya yang terkenal : Het Staatsreacht van het koninkrijk der
Nederlanden, terbit pada tahun 1928.
Terhadap pendapat Krabbe tersebut di atas Struycken
mengatakan bahwa pendapat Krabbe itu adalah lemah. Sebab rasa hukum itu tidak
dapat dijadikan sebagai sumber hukum, oleh karena rasa hukum itu selalu akan
berubah-ubah pada setiap masa, dan rasa hukum itu akan berbeda dari golongan
yang satu dengan rasa hukum dari golongan yang lain, apalagi dari manusia yang
satu dengan manusia yang lain. Rasa hukum dari A misalnya tidak akan sama
dengan rasa hukum dari B. Bahkan
rasa-rasa hukum dari si A tadi pada waktu sekarang, misalnya, akan
mungkin sekali berbeda dengan rasa hukum si A itu sendiri 5 tahun yang akan
datang. Dengan demikian maka tidak aka ada rasa hukum yang umum, maka rasa
hukum itu tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum, sebab kalau hukum itu
didasarkan pada rasa hukum daripada tiap-tiap individu , tidak akan tercapai
hukum yang bersifat umum, akan tetapi akibatnya malahan akan menimbulkan
anarki.
Pendapat Krabbe tersebut di atas, yang dikemukakan
didalam bukunya Die Lehre Rechts-souveranitat, diterbitkan pada tahun 1906,
yang kemudian disanggah oleh Struycken secara tajam di dalam bukunya: Recht en
Gezag, Een critische beschouwing van Krabbe’s Moderne Staats-idee, diterbitkan
pada tahun 1916, dijawab atau malahan tegasnya dibela oleh Kranenburg, periksa
bukunya Algemene Staatsleer, buku ini diterbitkan pada tahun 1937.
Dalam hubungan ini Kranenburg membela pendapat Krabbe
yang disanggah oleh Struycken tadi, dengan mengemukakan hukum keseimbangan,
atau postulat keseimbangan. Menurut Kranenburg setelah diadakan penyelidikan
secara empiris analytis, memang ternyata bahwa di dalam masyarakat itu terdapat
ketentuan tetap dalam reaksi kesadaran hukum manusia. Yaitu bahwa setiap orang
itu bersikap atau berkeyakinan, bahwa setiap orang itu adalah berkesamaan hak
terhadap penerimaan keuntungan atau kerugian, atau terhadap keadilan dan
ketidak adilan, kecuali apabila ada syarat-syarat khusus yang menentukan lain.
Jadi menurut Krenenburg sanggahan atau kritikan Struycken
terhadap Krabbe tersebut adalah tidak benar. Sebab Krabbe tidak mengatakan
bahwa rasa hukum atau kesadaran hukum dari setiap orang itu adalah sama dalam
segala hal, akan tetapi di situ ada suatu unsur yang sama, yaitu adanya
ketentuan tetap dalam reaksi kesadaran hukum manusia. Inilah yang menyebabkan
adanya suatu keseimbangan.
Cobalah pikirkan, dalam hal ini Kranenburg member
keterangan sebagai berikut : bahwa hukum positif tidak dapat ditetapkan menurut
sekehendaknya sendiri oleh kekuasaan pemerintah pemerintah, akan tetapi
terdapatlah kecendrungan untuk memperhatikan rasa hukum atau kesadaran hukum
dari masyarakat. Sebab kalau tidak demikian, artinya pemerintah itu melakukan
tindakan atau melaksanakan kekuasaan dengan tidak pantas, akan selalu timbul
atau terdapat reaksi kesadaran hukum masyarakat, oleh karena di dalam
masyarakat itu selalu terdapat ketentuan tetap dalam reaksi kesadaran hukumnya,
ini memungkinkan timbulnya aksi yang bertujuan sama. Reaksi itun dapat timbul
secara lamban, dalam bentuk kebiasaan, misalnya. Atau dalam bentuk
yurispudensi. Tetapi dapat pula secara cepat dalam bentuk hukum revolusi.
Inilah yang akan memelemahkan kekuasaan penguasa. Dan dengan demikian pula hal
tersebut merupakan jawaban atas sanggahan Struycken.
Tetapi kiranya Kranenburg sendiri salah terima dengan apa
yang dikatakan oleh Struycken, karena Struycken hanya mengatakan bahwa
kesadaran hukum itu tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum, karena memang
di dalam jiwa manusia itu tidak hanya bergerak kesadaran hukum saja, banyak
masih hal-hal yang menggerakkan jiwa manusia.
Hal ini memang dikatakan oleh Kranenburgsendiri, dan
sekaligus menolak teori kedaulatan hukum Krabbe, dengan alasan oleh karena
kesadaran hukum itu, yaitu kesadaran hukum rakyat, dalam arti kata biasa,
bukanlah satu-satunya kekuatan yang bergerak dalam psyche manusia, terdapat
pula kekuatan-kekuatan lain yang bergerak. Dan tergantung pula kepada imbangan
masing-masing kekuatan itu, dalam mengusainya atau tidak kesadaran hukum itu,
dan hal yang belakangan ini ada hubungannya yang erat dengan tabiat rakyat.
Periksa seterusnya Algemene Staatsleer.
Demikianlah perkembangan daripada teori-teori kedaulatan,
yang pada pokoknya akan mencari dasar hukum yang kuat bagi kekuasaan penguasa.
Yang meskipun tujuannya sama, namun semuanya itu sangat dipengaruhi, bahkan ditentukan
oelh keadaan yang mereka alami. Pokoknya bagaimana kekuasaan yang ada pada
penguasa itu. Maka demikian pula usaha orang pada waktu timbulnya kekuasaan
raja yang absolut, sebagai akibat daripada ajaran yang berkembang pada jaman
abad pertengahan dan pada jaman renaissance.
Pada jaman abad pertengahan kekuasaan raja itu didasarkan
atas kekuasaan tuhan, ingat misalnya ajaran dari Agustinus dan Thomas Aquinas.
Baru kemudian agak mendapatkan kemajuan pada ajaran dari Marsilius. Tetapi
malahan justru ajaran Marsilius inilah yang menimbulkan kekuasaan raja-raja
bersifat absolut.
Keadaan ini nanti diperkuat dengan ajaran-ajaran pada
jaman renaissance. Yaitu dengan ajaran Niccolo Machiavelli den Jean Bodin.
Niccolo Machiavelli dengan ajarannya Staats-raison, sedangkan Jean Bodin dengan
ajarannya Staats-souvereiniteit. Maka dengan ini kekuasaan raja menjadi semakin
absolut. Keabsolutannya itu sedemikian rupa, sehingga raja dapat berbua apa
saja, baik dalam lapangan keduniawian, maupun dalam lapangan agama.
Maka tidaklah mengherankan kalau rakyat yang sedemikian
tertindas oleh tindakan raja yang sewenang-sewenang itu lalu merasa perlu
bahkan merupakan suatu keharusan mencari dasar-dasar baru bagi kekuasaan raja
menjadi semakin absolut. Keabsolutannya itu sedemikian rupa, sehingga raja
dapat berbuat apa saja, baik dalam lapangan keduniawian, maupun dalam lapangan
agama.
Maka tidaklah mengherankan kalau rakyat yang sedemikian
tertindas oleh tindakan raja yang sewenang-wenang itu lalu merasa perlu bahkan
merupakan suatu keharusan mencari dasar-dasar baru bagi kekuasaan raja, agar
dengan itu kekuasaan raja dapat dibatasi, setidak-tidaknya raja tidak lagi
dapat bertindak dengan sewenang-wenang, dan dengan demikian hak-hak daripada
rakyat terjamin.
Usaha ini sudah dimulai oleh kaum monarkomaken dengan
Johannes Althusius sebagai pelopornya, Althusius di dalam ajarannya tidak lagi
mendasarkan kekuasaan raja itu atas kehendak Tuhan, tetapi atas kekuasaan
rakyat, kekuasaan yang ada pada rakyat itu diperolehnya dari suatu hukum yang
tidak tertulis, yang disebut hukum alam kodrat. Dan rakyat menyerahkan
kekuasaannya itu kepada raja dalam suatu perjanjian yang disebut perjanjian
penundukan. (lihat: Soehino, ilmu negara,Liberty,
Jogyakarta,1986, hlm. 156-159)
Sumber:
Soehino, ILMU NEGARA,Liberty, Jogyakarta,1986
No comments :
Post a Comment