pages

Sunday, 31 July 2016

Sejarah Aceh

pinterest.com

                                                        
Aceh adalah suatu daerah yang terletak dikawasan paling ujung dari bagian pulau sumatra, dengan luas wilayah 57.365,57 Km2. Dengan berbatasan langsung Samudra India di sebelah barat dan Malaka di sebelah Utara dan Timur menjadikan daerah ini kawasan yang sangat strategis dalam jalur pelayaran dan perdagangan  internasional hingga sekarang.

Belum pasti kapan dan siapa pertama kali mendiami daearah ini. Namun sejarawan Said ‘Alawi Thahir al-Haddad dalam bukunya’’Al-Madkhal ila Tarikh al-Islam fi al-syarq al-Aqsa’’menyebutkan sutu dokumen kuno dari Dinasti Cina, yang menceritakan pada tahun 518 M telah datang kepada raja Cina utusan dari kerajaan Puli yang terletak di Ujung Utara pulau Sumatra. Dokumen ini juga menceritakan bahwa kerajaan Puli terbagi kepada 136 wilayah dengan luas wilayah 50 hari perjalanan kaki dari Utara ke Selatan, dan 20 hari perjalanan kaki dari Barat ke Timur. Masyarakatnya menanam padi dua kali dalam setahun, pakaian mereka terbuat dari kapas/katun yang mereka tanam sendiri. Sedangkan  Raja mereka berpakaian Sutra, bertahtakan emas yang berhiaskan permata. Ia mengendarai sebuah kereta yang ditarik oleh seekor gajah. Agama mereka adalah budha. Hal ini membuktikan bahwa sejak abad ke 6 M. orang-orang yang mendiami daerah pesisir Aceh telah mengenal suatu tata cara kehidupan yang berperadaban cukup maju dibandingkan kawasan-kawasan lain di Nusantara, kecuali kawasan pinggiran sungai Mahakam di Kalimantan Timur, dimana kerajaan Hindu Kutai telah berdiri sejak abad Ke 5 Masehi, begitu juga kawasan Jawa Barate dengan Kerajaan Taruna Negara.

Masuk nya Islam

Seiring berkembang nya dakwah Islam pada abad ke-7 M (1 H), maka daerah pesisir Utara Aceh mulai disinggahi para pedagang Muslim dari Malabar di India atau langsung dari Jazirah Arab, sebagaimana disebutkan oleh L. Van Rijk Vorsel dalam bukunya’’riwayat Kepulauan Hindia Timur’’. Ia juga menyebutkan bahwa orang-orang Arab telah lebih dahulu tiba di Sumatera 750 tahun sebelum kedatangan Belanda ke sana. Melihat pada posisi strategis wilayah Aceh yang terletak pada jalur penting perdagangan antara India dan Cina, maka tidak mengherankan kalau kemudian Aceh menjadi daerah pertama di Asia Tenggara yang dimasuki da’wah Islam pada sekitar tahun 700 M.

Masa Kerajaan Islam
Para sejarawan memperkirakan bahwa proses Islamisasi sudah berlangsung sejak terjadinya persentuhan antara penduduk pribumi dengan para pedagang Arab tersebut. Namun kerajaan Islam baru muncul pada awal abad ke-9 M. Diantara kerajaan-kerajaan Islam yang pertama di Aceh adalah sebagai berikut;

1.   Kerajaan Peurelak dipesisir Timur Aceh yang berdiri tahun 804 M.
2.   Kerajaan Lamuri dipesisir Utara Aceh.
3.   Samudra Pasai dipesisir Utara Aceh.

Raja pertama kerajaan Islam Samudra Pasai bergelar Sultan Malikul Saleh yang sebelumnya bernama Meurah Silu dan beragama Hindu. Ia berhasil meningkatkan kehidupan masyarakat dan dapat mengembangkan perniaagaan internasional. Pada waktu itu pasai telah mampu mengekspor lada kira-kira 8000 sampai 10.000 ton pertahunnya. Selain lada, diekspor pula sutera, kapur barus, emas, cengkeh, pala, gading gajah,timah dan kulit penyu.

Dalam catatan perjalanan Marcopolo, seorang petualang terkenal dunia yang sampai di Aceh pada tahun 1292, wilayah Aceh yang terletak y ang terletak di ujung Utara Sumatra, masih terbagi atas beberapa wilayah kerajaan. Beberapa wilayah yang dikenal sebagai pusat perdagangan rempah-rempah dunia saat itu adalah kerajaan samudera pasai, kerajaan Malaka, dan Pidie. Marcopolo juga menyebutkan bahwa para pedagang Arab yang ada di samudera Pasai sangat giat dalam menyebarkan dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk setempat.

  Pada tahun 1345, seorang pengembara Arab Ibnu Bathuthah dalam perjalanannya dari Maroko ke Cina singgah dipesisir Utara Aceh. Ia menyebutkan bahwa di sana sudah ada kerajaan Samudra Pasai dimana raja dan penduduknya sudah ada beragama Islam. Mereka menggunakan uang emas dari Cina dan Raja nya mengendarai gajah serta kereta kerajaan. Hal ini mengindikasikan bahwa Samudra Pasai telah punya hubungan dengan Arab, India dan Cina.

Penafsiran asal mula kata Aceh

Tidak mengherankan  kalau kemudian dimasa sekarang, kata Aceh sering diartikan oleh sebagian orang dengan ‘’Arab, Cina, Eropa, dan Hindia,’’ karena kelima peradaban tersebut memang pernah eksis dan berkembang di Aceh, bahkan apabila kita perhatikan asal-usul keturunan, karakter dan wajah orang-orang Aceh saat ini, mayoritasnya pasti terdiri dari salah satu dari lima unsure tersebut diatas.

Singgahnya dua pengembara terkemuka dunia (Marcopolo dan Ibnu Bathuthah) di Aceh, membuktinya besar pengaruh dan peranan yang dimainkan oleh kerajaan Islam Aceh ketika itu, sehingga petualang tersebut merasa perlu untuk mengunjunginya.

Kerajaan Islam Aceh Darussalam

Pada awal abad ke 16 M, berdirilah kerajaan Islam Aceh Darussalam berbentuk kesultanan Aceh dengan raja pertamanya Sultan Ali Mughayat Syah (1513-1530) putra dari Sultan Syamsul Syah, dan cucu dari sultan Inayat Syah dari kerajaan Lamuri.  Kerajaan Aceh Darussalam yang lahir pada tanggal 12 Zulqa’idah 916 ( 1513 M ) adalah sebuah kerajaan Federasi yang terdiri dari:

A.  Kerajaan Islam Peurelak
B.  Kerajaan Islam Samudra Pasai
C.  Kerajaan Lamuri
D.  Kerajaan Islam Lamno Jaya  
E.   Kerajaa Lingge
F.   Kerajaan Islam Pedir
G.  Kerajaan Islam Teuming

       Peleburan kerajaan-kerajaan Islam Aceh dalam satu wadah itu kemudian diberi nama kerajaan Aceh Raya Darussalam. Atau lebih dikenal dengan dengan proklamasi samudra Pase. Kerajaan Aceh Darussalam mencapai masa keemasan-nya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda ( 1607-1636 ). Ia mampu menempatkan kerajaan Islam Aceh di peringkat kelima diantara kerajaan terbesar Islam di dunia pada abad ke-16. Kelima kerajaan Islam tersebut adalah sebagai berikut:

1.      Kerajaan Islam Turki Usmani di Istanbul
2.      Kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara
3.      Kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah
4.      Kerajaan Islam Akra di India
5.      Kerajaan Islam Aceh Darussalam di Asia Tenggara.

Sejak dulu, masyarakat Aceh dikenal berkarakter kuat. Mereka merupakan orang-orang yang tidak mudah menyerah. Karekter ini terbukti  saat pemerintahan Kolonial Belanda menguasai nusantara sekitar abad 16-20 M, Aceh adalah wilayah nusantara yang paling akhir dikuasai Belanda sekaligus memakan waktu paling lama untuk ditundukkan. Upaya Belanda Aceh berlangsung selama kurang lebih 30 tahun, yaitu sejak Maklumat perang kerajaan Belanda terhadap Aceh tanggal 26 Maret 1873 hingga 20 Januari 1903, yaitu dengan tertangkapnya raja terakhir Aceh, Sultan Muhammad Daud Syah. 

Tertangkapnya sultan Aceh terakhir, tidak berarti perang Belanda dengan Aceh juga berakhir, karena sultan Muhammad daud Syah tidak pernah mau menandatangani surat pernyataan menyerah kepada pihak Belanda hingga akhirnya dibuang ke Batavia dan meninggal di sana. Dan juga karena dalam kenyataan di lapangan, rakyat Aceh dibawah pimpinan para ulama dan panglima sagi terus-menerus berjuang tiada henti melawan Belanda hingga datangnya Jepang tahun 1942. Dengan demikian sesungguhnya perang Aceh melawan Belanda telah memakan waktu 69 tahun, sebagaimana diakui oleh pihak Belanda.

Kedaulatan Aceh
       Tidak berhasilnya Aceh dikuasai Belanda serta tidak adanya penyerahan kedaulatan Aceh dari Sultan kepada Belanda, merupakan salah satu di antara alasan utama yang berimplikasi sahnya kedaulatan kerajaan Aceh hingga saat ini menurut hokum internsional. Demikian menurut pendapat  Gerakan Aceh Merdeka Hasan Tiro.

            Setelah tertangkapnya sultan Aceh terakhir. Perang Aceh terus berlangsung dalam dua bentuk.
1.      Perang bersenjata yang dilanjutkan rakyat dibawah pimpinan para ulama, baik dalam bentuk perang 2gerilya yang menyeluruh maupun dalam bentuk perang gerilya berkelompok dan perseorangan.

2.      Perang politik yang ditandai dengan pembangunan kembali pusat-pusat pendidikan yang bernama Dayah dan organisasi-organisasi kemasyarakatan/keagamaan yang mengelola Dayah-dayah.

Pada tahun 1914, untuk pertama kalinya di Aceh berdiri partai Politik Syarikat Islam dengan Abdul Manaf dan Marah Hoesin Gelar Mangararaja Tagor sebagai ketua dan wakilnya. Organisasi baru ini didukung oleh ulama-ulama dan tokoh-tokoh  masyarakat yang baru turun dari medan gerilya. Pusat-pusat pendidikan yang baru dibangun kembali yang bernama Dayah, menjadi tanah subur bagi Syarikat Islam. Hal ini membuat penguasa Hindia Belanda di Aceh menjadi khwatir dan takut. Apalagi setelah berbagai pemberontakan terhadap Belanda melibatkan sejumlah tokoh Syrikat Islam, seperti peristiwa Bakongan  tahun 1925/1926. Akibat nya, Belanda menyatakan bahwa Syarikat Islam adalah partai terlarang di tanah Aceh. Belanda juga melarang berdirinya partai politik apapun di Aceh.

            Namun para ulama dengan tokoh masyarakat tidak kehilangan akal. Mereka kemudian beramai-ramai mendirikan organisasi sosial keagamaan yang merupakan organisasi politik terselubung. Tugas utama organisasi tersebut adalah mengurus pusat-pusat pendidikan yang bernama Dayah. Organisasi-organisasi ini berdiri sendiri di daerah masing-masing dan pada dhahirnya tidak punya hubungan satu sama lain, sekalipun gerak langkah  dan usahanya sama, yaitu membangun pendidikan dan membina kesadaran beragama dan berbangsa dikalangan rakyat.

       Pada tahun 1939, tokoh-tokoh dari organisasi sosial keagamaan, seperti Jam’iyah Diniyah, Jam’iyah Hasbiyah, Jam’iyah Madaniyah, Jam’iyah Najdyah, Jam’iyah Khairiyah dan sebagainya, sepakakat mendirikan oragnisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh ( PUSA ), dan Teungku Muhammad Daud Beureueh dipilih sebagai ketua umum nya. PUSA inilah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya Majelis Ulama Indonesia ( MUI ).

Kemampuan Teungku Muhammad Daud Beureueh memimpin organisasi baru ini, dengan dibantu oleh tokoh-tokoh ulama muda lainnya, menyebabkan PUSA dalam waktu singkat tumbuh menjadi organisasinbesa, berpengaruh dan sangat berhasil dalam menggerakkan kesadaran  dan kekuatan rakyat. Menurut Ali Hasjmy, PUSA sekalipun bukan organisasi politik, tetapi sepak terjangnya dalam perjuanagan kemerdekaan sama dengan partai politik yang radikal.

Menjelang Kedatangan Jepang

       Menjelang kedatangan Jepang di Indonesia, Ulama dan para tokoh perjuangan di Aceh mengambil suatu kebijakan politik yang amat penting, yaitu tidak bekerja sama dengan Belanda /sekutu dalam menghadapi Jepang. Gerakan perlawanan terhadap Belanda kembali memanas di berbagai daerah di Aceh. Sehingga sebelum Jepang mendarat di pantai Ujong Bate’, Aceh Besar pada tanggal 12 Maret 1942, seluruh tentara Belanda telah lari dari tanah Aceh.    

       Belum sampai setahun pendudukan Jepang atas Aceh, rakyat telah melihat kenyataan bahwa Jepang bukanlah pembebas bangsa-bangsa Asia yang terjajah, tapi ia juga penjajah sama seperti dengan Belanda. Perlawanan terhadap Jepang pun mulai bangkit. Tengku Abdul Jalil Cot Pling adalah salah satu tokoh ulama yang memimpin perlawanan ketika itu. Beliau beserta 105 pasuakannya Syahid setelah digempur Jepang dalam sebuah mesjid dikawasan Aceh Utara.

Menjelang Kemerdekaan Indonesia

       Ketika kekuatan rezim militer Jepang menyerah kepada kekuatan sekutu pada pada tahun 1945, atas nama rakyat Indonesia Soekarno mengambil momentum paling berharga ini untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan batas wilayah dari Sabang sampai Merauke, yaitu batas wilayah yang sebelumnya menjadi daerah jajahan Hindia Belanda.  

      Begitu berita proklamasi Indonesia diterima di Aceh, rakyat Aceh segera memberikan respon positif mendukung proklamasi tersebut. Hal ini terbukti dengan adanya ikrar kesetiaan dari 56 tokoh Aceh untuk mendukung kemerdekaan Republik Indonesia. Sumpah kesetiaan ini dilangsungkan pada tanggal 23 Agustus 1945 bertempat di gedung Shu Chokan ( kantor Residen Aceh, kini pendopo Gubernur ). ke 56 tokoh tersebut antara lain Teuku Nyak Arief dan Teungku Pangima Polim Muhammad Ali.

       Puncak dari dukungan terhadap Republik Indonesia yang baru lahir ini adalah ketika dikeluarkannya ‘’Maklumat Ulama Seluruh Aceh’’ tanggal 15 Oktober 1945 yang berisi Fatwa bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah sama dengan perjuangan suci yang disebut perang Sabil dan merupakan sambungan dari perjuangan Aceh terdahulu seperti perjuangan almarhum Teungku Chik Ditiro, dan pahlawan-pahlawan kebangsaan yang lain. Maklumat penting  ini ditanda tangani oleh empat (4) ulama besar yaitu, Tengku H. Hasan Krueng Kalee, Teungku Muhammad Daud Beureueh, Teungku H.Dja’far Sidik Lamjabat, Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri, serta diketahui oleh Teuku Nya’ Arief selaku Residen Aceh dan disetujui oleh Tuanku Mahmud selaku Ketua Komite Nasional.

Perang Cumbok

            Pada tahun 1946, terjadi sebuah tragedi besar di Aceh yang merenggut sekitar 1500 nyawa rakyat Aceh. Tragedi tersebut dikenal dengan istilah perang Cumbok, antara pasukan hulubalang Aceh yang dipimpin oleh Teuku Daud Cumbok dengan pasukan pejuang Aceh yang mendukung kemerdekaan RI.

       Sebagian orang menilai perang Cumbok adalah perang antara Ulama dengan Hulubalang yang sejak zaman Belanda selalu berseberangan, kalangan hulubalang dinilai selalu mengkhianati perjuangan ulama beserta para pejuang Aceh dalam menentang intimidasi penjajahan Belanda. Begitu pula setelah proklamasi, mereka dianggap tidak mendukung kemerdekaan dan menginginkan kembalinya kekuasaan Belanda di Aceh. Akan tetapi tidak semua hulubalang berseberangan dengan ulama. Tengku H. Hasan Krueng Kalee adalah salah seorang tokoh ulama yang tidak setuju dengan peperangan tersebut. Dan beliaulah yang diutus pihak pejuang Aceh di Kuta Raja untuk menemui Teuku Daud Cumbok agar mau berdamai. Tetapi ajakan itu ditolak dengan alasan ia tidak mungkin lagi mundur, setelah nama baik hulubalang tercemar akibat-akibat tuduhan yang belum terbukti tersebut.

Aceh Sebagai Daerah Modal   
       Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI dari Agresi I dan II Belanda (1947-1949), Aceh kembali menunjukkan jati dirinya sebagai pendukung sejati republik dan satu-satunya daerah yang tidak berhasil dimasuki kembali oleh Belanda. Sehingga dalam kunjungan pertamanya di Aceh Juni 1948 Presiden Soekarno sempat menegaskan bahwa Aceh dan segenap rakyat adalah modal pertama bagi kemerdekaan RI.

       Julukan Aceh daerah modal, bukanlah kata-kata tanpa makna, tapi dibuktikan langsung oleh para pejuang Aceh dalam kenyataan. Gubernur militer Aceh Mayor Jendral Teungku Daud Beureueh segera menggalang pengumpulan dana perjuangan dari segenap rakyat Aceh untuk membiayai pemerintah RI yang baru seumur jagung dan terancam bangkrut. Selang periode Oktober-Desember 1949 terkumpul 500.000 Dollar AS, dengan perincian 250.000 Dollar untuk keperluan angkatan perang ( cikal bakal TNI ), 50.000 Dollar untuk perkantoran pemerintah RI, 100.000 Dollar untuk pengembalian pemerintah RI dari Yogyakarta, dan 100.000 Dollar diserahkan kepada pemerintah lewat A.A. Maramis. Juga terkumpul sebanyak 5 kg emas untuk membeli Obligasi pemerintah. Rakyat Aceh juga mengumpulkan Dollar Singapura untuk membiayai perwakilan Indonesia di Singapura dan pendirian Kedubes RI di India.

Setahun sebelumnya ( 1948 ) rakyat Aceh juga menyanggupi permintaan Soekarno agar Aceh menyumbangkan dana untuk pembelian pesawat yang membantu transportasi pejabat pemerintah RI dalam upaya mencari dana perjuangan di luar negeri dan dalam upaya mengadakan kontak-kontak diplomatik antara tokoh-tokoh pejuang Indonesia dengan pemerintah India, Burma dan negara lainnya.

       Dua bulan setelah permintaan itu diajukan, saat menyambut tiga tahun kemerdekaan Indonesia, rakyat Aceh menyumbang dua pesawat Dakota RI 001 dan RI 002 kepada pemerintah pusat kemudian menjadi cikal bakal dari Garuda Airways. Selain dua pesawat, sebuah kapal laut berbobot 100 ton, berbagai peralatan senjata serta piranti telekomunikasi juga turut disumbangkan bagi perjuangan revolusi.

Kesetiaan Aceh Pada Indonesia   
              
       Di front Medan Area Sumatra Utara, pejuang Aceh ikut berperan aktif melawan tentara musuh. NICA Belanda yang ingin kembali menduduki wilayah Sumatra. Belasan ribu rakyat yang mengungsi dari Sumatra Timur, baik dari daerah Langkat ke arah Aceh Timur dan dari Deli Serdang dan Tanah Karo menuju Aceh Tenggara dan Tengah. Mereka ditampung dan dibantu oleh rakyat Aceh seperti saudara sendiri. Ribuan ton beras, ratusan kerbau dan sapi dikirim dari wilayah Aceh sebagai logistik bagi pejuang yang beroperasi di front Medan Area, Langkat dan Tanah Karo.

       Ujian terberat bagi kesetiaan Aceh terhadap Republik Indonesia adalah pada tanggal 17 Maret 1949, Wali negara Sumatra Timur, Dr. Tengku Mansur mengundang Tengku Daud Beureueh selaku Gubernur Militer Aceh untuk menghadiri suatu rapat yang diberi nama ‘’Muktamar Sumatra’’ yang akan membahas berdirinya ‘’Negara Republik Federasi Sumatera’’. Pada dasarnya gagasan ini berasal dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Mook. Belanda sangat berkepentingan agar Aceh ikut serta dalam dalam pembentukan “Republik Federasi Sumater” sebab dengan itu pembentukan atas Indonesia kembali dapat dipertahankan. Karena Aceh sebagai “Wilayah Modal” Republik Indonesia sudah berdiri sendiri dan tidak lagi memberi dukungan terhadap pejuang rakyat Indonesia di wilayah lain.

       Pada tanggal 20 Maret 1949 diadakan siding Staf Gubernur Militer Aceh serta sejumlah tokoh ulama untuk membahas ajakan Dr.Tengku Mansur Tersebut. Dalam sidang yang diwarnai perdebatan panas dan berlangsung dari jam 10 pagi sampai jam 23:00 menjelang tengah mala ini, muncul tiga pendapat; sebagian menerima ajakan tersebut, sebagian ingin memproklamasikan Aceh sebagai negara yang berdiri sendiri, dan sebagian lain tetap setia mempertahankan Republik Indonesia.

       Tengku H. Hasan Krueng Kalee adalah seorang ulama yang mengusulkan agar Aceh berdiri sendiri. Dengan pertimbangan bahwa roda pemerintahan Indonesia sudah lumpuh dan Aceh ketika itu punya sejarah dan kemampuan secara militer untuk berdiri sendiri, dimana seluruh senjata peniggalan Jepang berhasil dikuasai oleh pejuang Aceh. Disamping itu, menurut nya ia dan ulama-ulama lain mampu menggalang kekuatan rakyat untuk mendukung gagasan tersebut.

       Namun usulan ini mendapat tantangan keras dari dari Tengku Daud Beureueh. Beliau menegaskan bahwa kesetiaan rakyat Aceh terhadap pemerintah RI bukan dibuat-buat tetapi kesetiaan yang tulus dan ikhlas yang keluar dari hati nurani nya dengan perhitungan dan perkiraan yang pasti. Menurut nya kemerdekaan secara terpisah-pisah, negara pernegara tidak akan menguntungkan dan tidak akan membawa kepada kemerdekaan yang abadi. Dalam pidatonya beliau menegaskan:

“sebab itu, kita tidak bermaksud untuk membentuk suatu Aceh Raya, karena kita disini bersemangat Republiken. Untuk itu, undangan dari Wali Negara Sumatera Timur itu kita pandang sebagai tidak ada saja, dari karena itu tidak kita balas.

Akhirnya sidang Staf Gubernur Militer Aceh memutuskan untuk menolak ajakan Dr. Tengku Mansur, dan dengan penolakan Aceh maka bagi “Republik Federasi Sumatera” gugur dalam kandungan.

       Kesetiaan Aceh terhadap Republik juga dibuktikan dengan dukungan penuh segenap pejuang Aceh yang diberikan kepada pemerintah Darurat R.I ( PDRI ) di bawah pimpinan Syafruddin sejumlah tokoh nasional berhasil ditawan Belanda dan ibukota RI yang dipindahkan ke Yogyakarta telah berhasil diduduki.

       Tokoh-tokoh Aceh seperti Teungku Muhammad Daud Beureueh memegang peranan penting dalam pengiriman bantuan kepada Pemerintah Darurat yang bermarkas di Bukittinggi ini. Bahkan ketika situasi di Bukittinggi tidak aman, Presiden PDRI Syarifuddin Prawiranegara diminta Daud Beureueh hijrah ke Aceh dan mendapat sambutan hangat di sana. Dengan demikian pemerintahan RI masih dapat bertahan, karena masih ada Aceh sebagai satu-satunya wilayah RI yang tidak berhasil diduduki kembali oleh Belanda sepanjang perang Revolusi Fisik  ( 1945-1949 ).

       Dari stasiun radio yang berlokasi didalam hutan anatara Bireuen dan Takengon, disiarkan berita-berita jalan nya revolusi Indonesia dan bahwa pemerintahan Indonesia masih eksis. Berita-berita ini pula kemudian dimanfaatkan Dubes RI untuk PBB L.N Palar dan dr. Soedarsono selaku diplomat yang menghubungi India, untuk menunjukkan kepada dunia Internasional bahwa Republik Indonesia masih dapat bertahan bahkan masih memiliki wilayah Aceh secara “defacto” dan “dejure”, yang luasnya lebih besar dari negeri Belanda. Dengan realitas ini, Belanda akhirnya harus mengakui Indonesia meskipun dalam bentuk Republik Serikat dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag 27 Desember 1949.

       Dengan diterimanya hasil KMB dan terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) maka Indonesia resmi terbebas dari penjajah asing, dan pemerintahpun dapat mulai berjalan dengan semestinya. Namun hal ini bukan malah membawa dampak positif bagi rakyat Aceh, melainkan kekecewaan demi kekecewaan akibat kebijakan-kebijakan yang dijalankan pemerintah Republik terhadap daerah yang sebelumnya telah menjadi modal bagi lahirnya pemerintahan tersebut.

       Awal dari segala kekecewaan rakyat Aceh adalah sikap arogan pemerintah yang tanpa pertimbangan matang, melebur status provinsi Aceh ke dalam pemerintahan Provinsi Sumatra Utara, kurang dari delapan bulan setelah status Provinsi Aceh diberikan oleh Syafruddin Prawiranegara dengan ketetapan pemerintahan Darurat RI. No.8/Des/ WKPH tertanggal 17 Desember 1949. Pembubaran provinsi Aceh dilakukan oleh Kabinet Halim Perdana Kusumah dengan peraturan pemerintah pengganti UU No.5 Thn. 1950, yang ditanda-tangani Pejabat Presiden Mr.Asaat dan Mendagri Susanto Tirtoprojo dari PNI, sesudah berlangsungnya Sidang Dewan Mentri RIS tanggal 8 Agustus 1950 di Jakarta.

       Dengan keputusan tersebut, rakyat Aceh menilai bahwa perjuangan mereka selama ini untuk mendukung kemerdekaan RI ternyata dibalas dengan air tuba oleh pemerintah RI sendiri. Apalagi mengingat janji Presiden Soekarno, saat pertama kali berkunjung ke Aceh pada 16 Juni 1948, Presiden atas nama Allah pernah bersumpah akan memberikan hak kepada Aceh untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai Syariat Islam. Soekarno berjanji akan mempergunakan pengaruhnya agar rakyat Aceh nantinya benar-benar dapat melaksanakan Syari’at Islam di daerahnya. Janji ini pada kenyataannya tidak pernah terealisir pada masa soekarrno, malah justru Provinsi Aceh dibubarkan dan dilikuidasi ke Provinsi Sumatera Utara. Satu hal yang kemudian menjadi salah satu faktor pemicu lahirnya gerakan Darul Islam dibumi serambi Mekkah tersebut. 

Untuk lebih lengkapnya dapat dibaca dalam buku yang menarik karya Mutiara Fahmi Razali, PERGOLAKAN ACEH DALAM PERSPEKTIF SYARIAT, Cetakan Kedua, Yayasan PeNA Banda Aceh, Rabi"ul Awal 1435 H / Januari 2014  



Terima kasih telah membaca Sejarah Aceh

           
Sumber :
Mutiara Razali Fahmi, PERGOLAKAN ACEH DALAM PERSPEKTIF SYARIAT, Cetakan Kedua,
Yayasan PeNA Banda Aceh, Rabi"ul Awal 1435 H / Januari 2014  



        

No comments :

Post a Comment