Hasan Tiro adalah seorang tokoh yang sangat dikagumi oleh
rakyat Aceh, Hasan Tiro dikenal sebagai tokoh pendiri Gerakan Aceh Merdeka,
organisasi yang di dirikan pada 4 Desember 1976 itu. Tidak terlepas dari peran
serta dan dukungan Teungku Daud Beureueh beserta para mantan tokoh Republik Islam
Aceh terdahulu.(lihat: Mutiara Fahmi Razali, PERGOLAKAN ACEH DALAM PERSPEKTIF SYARIAT, hlm. 45)
Laki-laki yang yang dijuluki sebagai Wali Nanggroe ini bernama lengkap Hasan Muhammad di Tiro, lahir
di Tiro, Pidie,Aceh. pada tanggal 25
September 1925, ia lahir dari pasangan teungku Muhammad Hasan dan Pocut
Fatimah.
Pada tahun 1945 Hasan Tiro kuliah di Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, kemudian ia melanjutkan kuliah pada
Fakultas Hukum, Universitas Columbia, sambil kuliah bekerja pada pada Dinas
penerangan Delegasi Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dia
memperoleh gelar Doktor di bidang Hukum Internasional dari Columbia University.
Di masa-masa itu pula Hasan Tiro pernah bekerja di KBRI dan
membangun jaringan bisnis di bidang Petrokimia, Pengapalan, Penerbangan, dan
manufaktur hingga ke Eropa dan Afrika. Hasan Tiro juga menjelaskan hal ini
dalam bukunya The Price of Freedom, pada tahun 1973, dia diangkat oleh Raja Feisal dari Arab
Saudi sebagai penasehat agung Muktamar Islam se-Dunia.(lihat: www.atjehcyber.net)
Tanggal 4 Desember
memiliki makna simbolis dan Historis bagi Hasan Tiro dan keluarganya. Sebab
pada hari itulah d ikebumikan Teungku Ma’at Tiro, sepupu ibunya yang sehari
sebelumnya 3 Desember 1991 gugur dalam perjuangan melawan Belanda di Tangse.
Tgk. Ma’at Tiro sendiri – menurut versi Hasan Tiro, adalah penguasa terakhir
Kesultanan Aceh, dimana sebelumnya pada tahun 1885, Teungku Chik Ditiro
Mauhammad Saman yang memperoleh gelar al-Mukarram, Maulana al-Mudabbir al-Malik
Teungku Ditiro, diangkat oleh Teungku panglima Polem Muda Perkasa menjadi
pimpinan perlawanan massa terhadap Belanda. Maka, sejak saat itu kekuasaan
negara (Kesultanan Aceh) otomatis beralih kepada keturunannya.(Op.Cit.hlm.51-52)
Pada tahun 1958, Hasan Tiro menulis buku penting di New York
berjudul Demokrasi untuk Indonesia. Dia mengusulkan negara federal untuk
Indonesia, melawan konsep negara persatuan versi Soekarno. Dia mengkritik pedas
sistem negara kesatuan, yang menguntungkan etnis besar jawa, dan cuma mendukung
apa yang disebutnya “demokrasi primitive”
. baginya, Indonesia terlalu luas untuk diatur secara sentralistik dari
Jakarta.
Hasan Tiro lalu melompat ke ide yang lebih radikal, dia
menggeser pemikirannya ke nasionalisme Aceh. Pada 1965, pamfletnnya “Masa Depan
Politik Dunia Melayu” menolak ide Republik Indonesia. Kata Hasan Tiro,
Indonesia tak lain dari proyek “Kolonialisme Jawa”, dan warisan tak sah perang
kolonial Belanda. Dengan kata lain, dia menyangkal penyerahan kedaulatan dari
Belanda kepada Indonesia pada 1949. Baginya, hak merdeka harus dikembalikan
kepada bangsa-bangsa seperti Aceh atau Sunda, yang sudah berdaulat sebelum Indonesia
Lahir.
Sejak itu dia menjelajahi sejarah, menulis sekian pamflet
tentang nasionalisme Aceh. Pada karyanya yang lain, “Atjeh bak Mata Donja”(Aceh
di Mata Dunia) ditulis dalam bahasa Aceh pada 1968, dia menguraikan problem
absennya kesadaran historis dan politis rakyat Aceh setelah Perang Belanda. Dia
mulai merekontruksi sejarah Aceh dan menegasi segala upaya integrasi dengan
Republik.
Hasan Tiro mengkaji lima editorial The New York Times
sepanjang April-Juli 1873, fase pertama perang Aceh melawan Belanda. Dia
menggali kembali patriotisme Aceh. Harian kondang itu mengakui kapasitas
kesultanan Aceh saat berperang melawan Belanda. Perang menentukan ini, kata
Hasan Tiro, hanya mungkin dikobarkan karena semua pahlawan Aceh tahu ”bagaimana
mati” sebagaimana manusia terhormat.
Ada dua dokumen penting yang dia dapat di Markas PBB yang
membulatkan tekadnya untuk memisahkan Aceh dari Indonesia. Dokumen itu berupa
Resolusi PBB tentang Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri (Right to Self
Determination). Dokumen lainnya, berupa resolusi bahwa negara kolonial
tidak boleh menyerahkan anak jajahannya kepada negara lain.
Ia menilai, Perang Belanda terhadap Aceh tidak menyebabkan
Aceh takluk dan dikuasai sepenuhnya oleh Belanda. Selain itu, Belanda tak
berdasar menyerahkan Aceh–melalui Konferensi Meja Bundar 1949–kepada Indonesia
(Jawa), mengingat Belanda tak berkuasa penuh atas Aceh, malah lari meninggalkan
Aceh, setelah tentara Jepang diundang ulama masuk Aceh
Ditambah alasan-alasan sejarah,
etnosentris, dan penguasaan ekonomi oleh Jakarta atas Aceh, membuat Hasan Tiro
punya banyak alasan menyambung perjuangan kakek buyutnya, Tgk Chik Di Tiro,
untuk mempertahankan kedaulatan Aceh. Ia mengimajinasikan sebuah
negara/kerajaan sambungan (succesor state). Untuk itu, Aceh harus
mandiri dari Indonesia.(lihat: http://news-deva.blogspot.co.id/)
Itulah cerita singkat tentang
perjuangan Hasan Muhammad Ditiro yang berakhir dengan perdamaian antara
organisasi (GAM) yang didirikannya dengan Pemerintah Indonesia, tepat pada Kamis,
3 Juni 2010 sekitar pukul 12.12 Wib, tokoh kharismatik Aceh Tengku Muhammad Di
Tiro berpulang ke pangkuan illahi di RS Zainal Abidin.
No comments :
Post a Comment