pages

Sunday 28 August 2016

Sejarah Perjuangan Hasan Tiro Sang Proklamator Gerakan Aceh Merdeka

Hasan Tiro adalah seorang tokoh yang sangat dikagumi oleh rakyat Aceh, Hasan Tiro dikenal sebagai tokoh pendiri Gerakan Aceh Merdeka, organisasi yang di dirikan pada 4 Desember 1976 itu. Tidak terlepas dari peran serta dan dukungan Teungku Daud Beureueh beserta para mantan tokoh Republik Islam Aceh terdahulu.(lihat: Mutiara Fahmi Razali, PERGOLAKAN ACEH DALAM PERSPEKTIF SYARIAT,  hlm. 45)

Laki-laki yang yang dijuluki sebagai Wali Nanggroe ini  bernama lengkap Hasan Muhammad di Tiro, lahir di Tiro, Pidie,Aceh.  pada tanggal 25 September 1925, ia lahir dari pasangan teungku Muhammad Hasan dan Pocut Fatimah.

Pada tahun 1945 Hasan Tiro kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, kemudian ia melanjutkan kuliah pada Fakultas Hukum, Universitas Columbia, sambil kuliah bekerja pada pada Dinas penerangan Delegasi Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dia memperoleh gelar Doktor di bidang Hukum Internasional dari Columbia University.

Di masa-masa itu pula Hasan Tiro pernah bekerja di KBRI dan membangun jaringan bisnis di bidang Petrokimia, Pengapalan, Penerbangan, dan manufaktur hingga ke Eropa dan Afrika. Hasan Tiro juga menjelaskan hal ini dalam bukunya The Price of Freedom, pada tahun  1973, dia diangkat oleh Raja Feisal dari Arab Saudi sebagai penasehat agung Muktamar Islam se-Dunia.(lihat: www.atjehcyber.net)

Tanggal  4 Desember memiliki makna simbolis dan Historis bagi Hasan Tiro dan keluarganya. Sebab pada hari itulah d ikebumikan Teungku Ma’at Tiro, sepupu ibunya yang sehari sebelumnya 3 Desember 1991 gugur dalam perjuangan melawan Belanda di Tangse. Tgk. Ma’at Tiro sendiri – menurut versi Hasan Tiro, adalah penguasa terakhir Kesultanan Aceh, dimana sebelumnya pada tahun 1885, Teungku Chik Ditiro Mauhammad Saman yang memperoleh gelar al-Mukarram, Maulana al-Mudabbir al-Malik Teungku Ditiro, diangkat oleh Teungku panglima Polem Muda Perkasa menjadi pimpinan perlawanan massa terhadap Belanda. Maka, sejak saat itu kekuasaan negara (Kesultanan Aceh) otomatis beralih kepada keturunannya.(Op.Cit.hlm.51-52) 

Pada tahun 1958, Hasan Tiro menulis buku penting di New York berjudul Demokrasi untuk Indonesia. Dia mengusulkan negara federal untuk Indonesia, melawan konsep negara persatuan versi Soekarno. Dia mengkritik pedas sistem negara kesatuan, yang menguntungkan etnis besar jawa, dan cuma mendukung apa yang disebutnya “demokrasi primitive” . baginya, Indonesia terlalu luas untuk diatur secara sentralistik dari Jakarta.

Hasan Tiro lalu melompat ke ide yang lebih radikal, dia menggeser pemikirannya ke nasionalisme Aceh. Pada 1965, pamfletnnya “Masa Depan Politik Dunia Melayu” menolak ide Republik Indonesia. Kata Hasan Tiro, Indonesia tak lain dari proyek “Kolonialisme Jawa”, dan warisan tak sah perang kolonial Belanda. Dengan kata lain, dia menyangkal penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia pada 1949. Baginya, hak merdeka harus dikembalikan kepada bangsa-bangsa seperti Aceh atau Sunda, yang sudah berdaulat sebelum Indonesia Lahir.

Sejak itu dia menjelajahi sejarah, menulis sekian pamflet tentang nasionalisme Aceh. Pada karyanya yang lain, “Atjeh bak Mata Donja”(Aceh di Mata Dunia) ditulis dalam bahasa Aceh pada 1968, dia menguraikan problem absennya kesadaran historis dan politis rakyat Aceh setelah Perang Belanda. Dia mulai merekontruksi sejarah Aceh dan menegasi segala upaya integrasi dengan Republik.
Hasan Tiro mengkaji lima editorial The New York Times sepanjang April-Juli 1873, fase pertama perang Aceh melawan Belanda. Dia menggali kembali patriotisme Aceh. Harian kondang itu mengakui kapasitas kesultanan Aceh saat berperang melawan Belanda. Perang menentukan ini, kata Hasan Tiro, hanya mungkin dikobarkan karena semua pahlawan Aceh tahu ”bagaimana mati” sebagaimana manusia terhormat.

Ada dua dokumen penting yang dia dapat di Markas PBB yang membulatkan tekadnya untuk memisahkan Aceh dari Indonesia. Dokumen itu berupa Resolusi PBB tentang Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri (Right to Self Determination). Dokumen lainnya, berupa resolusi bahwa negara kolonial tidak boleh menyerahkan anak jajahannya kepada negara lain.
Ia menilai, Perang Belanda terhadap Aceh tidak menyebabkan Aceh takluk dan dikuasai sepenuhnya oleh Belanda. Selain itu, Belanda tak berdasar menyerahkan Aceh–melalui Konferensi Meja Bundar 1949–kepada Indonesia (Jawa), mengingat Belanda tak berkuasa penuh atas Aceh, malah lari meninggalkan Aceh, setelah tentara Jepang diundang ulama masuk Aceh
Ditambah alasan-alasan sejarah, etnosentris, dan penguasaan ekonomi oleh Jakarta atas Aceh, membuat Hasan Tiro punya banyak alasan menyambung perjuangan kakek buyutnya, Tgk Chik Di Tiro, untuk mempertahankan kedaulatan Aceh. Ia mengimajinasikan sebuah negara/kerajaan sambungan (succesor state). Untuk itu, Aceh harus mandiri dari Indonesia.(lihat: http://news-deva.blogspot.co.id/)
Itulah cerita singkat tentang perjuangan Hasan Muhammad Ditiro yang berakhir dengan perdamaian antara organisasi (GAM) yang didirikannya dengan Pemerintah Indonesia, tepat pada Kamis, 3 Juni 2010 sekitar pukul 12.12 Wib, tokoh kharismatik Aceh Tengku Muhammad Di Tiro berpulang ke pangkuan illahi di RS Zainal Abidin.


No comments :

Post a Comment