pinterest.com |
Aceh adalah
suatu daerah yang terletak dikawasan paling ujung dari bagian pulau sumatra,
dengan luas wilayah 57.365,57 Km2. Dengan berbatasan langsung Samudra India di
sebelah barat dan Malaka di sebelah Utara dan Timur menjadikan daerah ini kawasan
yang sangat strategis dalam jalur pelayaran dan perdagangan internasional hingga sekarang.
Belum
pasti kapan dan siapa pertama kali mendiami daearah ini. Namun sejarawan Said
‘Alawi Thahir al-Haddad dalam bukunya’’Al-Madkhal ila Tarikh al-Islam fi
al-syarq al-Aqsa’’menyebutkan sutu dokumen kuno dari Dinasti Cina, yang
menceritakan pada tahun 518 M telah datang kepada raja Cina utusan dari
kerajaan Puli yang terletak di Ujung Utara pulau Sumatra. Dokumen ini juga
menceritakan bahwa kerajaan Puli terbagi kepada 136 wilayah dengan luas wilayah
50 hari perjalanan kaki dari Utara ke Selatan, dan 20 hari perjalanan kaki dari
Barat ke Timur. Masyarakatnya menanam padi dua kali dalam setahun, pakaian
mereka terbuat dari kapas/katun yang mereka tanam sendiri. Sedangkan Raja mereka berpakaian Sutra, bertahtakan
emas yang berhiaskan permata. Ia mengendarai sebuah kereta yang ditarik oleh
seekor gajah. Agama mereka adalah budha. Hal ini membuktikan bahwa sejak abad
ke 6 M. orang-orang yang mendiami daerah pesisir Aceh telah mengenal suatu tata
cara kehidupan yang berperadaban cukup maju dibandingkan kawasan-kawasan lain
di Nusantara, kecuali kawasan pinggiran sungai Mahakam di Kalimantan Timur,
dimana kerajaan Hindu Kutai telah berdiri sejak abad Ke 5 Masehi, begitu juga
kawasan Jawa Barate dengan Kerajaan Taruna Negara.
Masuk nya Islam
Seiring berkembang nya
dakwah Islam pada abad ke-7 M (1 H), maka daerah pesisir Utara Aceh mulai
disinggahi para pedagang Muslim dari Malabar di India atau langsung dari
Jazirah Arab, sebagaimana disebutkan oleh L. Van Rijk Vorsel dalam
bukunya’’riwayat Kepulauan Hindia Timur’’. Ia juga menyebutkan bahwa
orang-orang Arab telah lebih dahulu tiba di Sumatera 750 tahun sebelum kedatangan
Belanda ke sana. Melihat pada posisi strategis wilayah Aceh yang terletak pada
jalur penting perdagangan antara India dan Cina, maka tidak mengherankan kalau
kemudian Aceh menjadi daerah pertama di Asia Tenggara yang dimasuki da’wah
Islam pada sekitar tahun 700 M.
Masa Kerajaan Islam
Para sejarawan memperkirakan
bahwa proses Islamisasi sudah berlangsung sejak terjadinya persentuhan antara
penduduk pribumi dengan para pedagang Arab tersebut. Namun kerajaan Islam baru
muncul pada awal abad ke-9 M. Diantara kerajaan-kerajaan Islam yang pertama di
Aceh adalah sebagai berikut;
1.
Kerajaan Peurelak
dipesisir Timur Aceh yang berdiri tahun 804 M.
2.
Kerajaan Lamuri dipesisir
Utara Aceh.
3.
Samudra Pasai dipesisir
Utara Aceh.
Raja pertama
kerajaan Islam Samudra Pasai bergelar Sultan
Malikul Saleh yang sebelumnya bernama Meurah Silu dan beragama Hindu. Ia
berhasil meningkatkan kehidupan masyarakat dan dapat mengembangkan perniaagaan
internasional. Pada waktu itu pasai telah mampu mengekspor lada kira-kira 8000 sampai 10.000 ton pertahunnya. Selain lada, diekspor pula sutera,
kapur barus, emas, cengkeh, pala, gading gajah,timah dan kulit penyu.
Dalam
catatan perjalanan Marcopolo, seorang petualang terkenal dunia yang sampai di
Aceh pada tahun 1292, wilayah Aceh yang terletak y ang terletak di ujung Utara
Sumatra, masih terbagi atas beberapa wilayah kerajaan. Beberapa wilayah yang
dikenal sebagai pusat perdagangan rempah-rempah dunia saat itu adalah kerajaan
samudera pasai, kerajaan Malaka, dan Pidie. Marcopolo juga menyebutkan bahwa
para pedagang Arab yang ada di samudera Pasai sangat giat dalam menyebarkan dan
mengajarkan agama Islam kepada penduduk setempat.
Pada tahun 1345, seorang pengembara Arab Ibnu
Bathuthah dalam perjalanannya dari Maroko ke Cina singgah dipesisir Utara Aceh.
Ia menyebutkan bahwa di sana sudah ada kerajaan Samudra Pasai dimana raja dan
penduduknya sudah ada beragama Islam. Mereka menggunakan uang emas dari Cina dan
Raja nya mengendarai gajah serta kereta kerajaan. Hal ini mengindikasikan bahwa
Samudra Pasai telah punya hubungan dengan Arab, India dan Cina.
Penafsiran asal mula kata Aceh
Tidak mengherankan kalau kemudian dimasa sekarang, kata Aceh
sering diartikan oleh sebagian orang dengan ‘’Arab, Cina, Eropa, dan Hindia,’’
karena kelima peradaban tersebut memang pernah eksis dan berkembang di Aceh,
bahkan apabila kita perhatikan asal-usul keturunan, karakter dan wajah
orang-orang Aceh saat ini, mayoritasnya pasti terdiri dari salah satu dari lima
unsure tersebut diatas.
Singgahnya
dua pengembara terkemuka dunia (Marcopolo dan Ibnu Bathuthah) di Aceh,
membuktinya besar pengaruh dan peranan yang dimainkan oleh kerajaan Islam Aceh
ketika itu, sehingga petualang tersebut merasa perlu untuk mengunjunginya.
Kerajaan Islam Aceh Darussalam
Pada awal abad ke 16 M,
berdirilah kerajaan Islam Aceh Darussalam berbentuk kesultanan Aceh dengan raja
pertamanya Sultan Ali Mughayat Syah (1513-1530) putra dari Sultan Syamsul Syah,
dan cucu dari sultan Inayat Syah dari kerajaan Lamuri. Kerajaan Aceh Darussalam yang lahir pada
tanggal 12 Zulqa’idah 916 ( 1513 M ) adalah sebuah kerajaan Federasi yang
terdiri dari:
A. Kerajaan Islam Peurelak
B. Kerajaan Islam Samudra Pasai
C. Kerajaan Lamuri
D. Kerajaan Islam Lamno Jaya
E.
Kerajaa Lingge
F.
Kerajaan Islam
Pedir
G. Kerajaan Islam Teuming
Peleburan
kerajaan-kerajaan Islam Aceh dalam satu wadah itu kemudian diberi nama kerajaan
Aceh Raya Darussalam. Atau lebih dikenal dengan dengan proklamasi samudra Pase.
Kerajaan Aceh Darussalam mencapai masa keemasan-nya pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda ( 1607-1636 ). Ia mampu menempatkan kerajaan Islam Aceh di
peringkat kelima diantara kerajaan terbesar Islam di dunia pada abad ke-16.
Kelima kerajaan Islam tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kerajaan Islam Turki Usmani di Istanbul
2. Kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara
3. Kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah
4. Kerajaan Islam Akra di India
5.
Kerajaan Islam Aceh
Darussalam di Asia Tenggara.
Sejak dulu, masyarakat Aceh dikenal berkarakter kuat. Mereka merupakan orang-orang yang tidak mudah menyerah. Karekter ini terbukti saat pemerintahan Kolonial Belanda menguasai nusantara sekitar abad 16-20 M, Aceh adalah wilayah nusantara yang paling akhir dikuasai Belanda sekaligus memakan waktu paling lama untuk ditundukkan. Upaya Belanda Aceh berlangsung selama kurang lebih 30 tahun, yaitu sejak Maklumat perang kerajaan Belanda terhadap Aceh tanggal 26 Maret 1873 hingga 20 Januari 1903, yaitu dengan tertangkapnya raja terakhir Aceh, Sultan Muhammad Daud Syah.
Tertangkapnya sultan Aceh terakhir, tidak berarti perang Belanda dengan Aceh juga berakhir, karena sultan Muhammad daud Syah tidak pernah mau menandatangani surat pernyataan menyerah kepada pihak Belanda hingga akhirnya dibuang ke Batavia dan meninggal di sana. Dan juga karena dalam kenyataan di lapangan, rakyat Aceh dibawah pimpinan para ulama dan panglima sagi terus-menerus berjuang tiada henti melawan Belanda hingga datangnya Jepang tahun 1942. Dengan demikian sesungguhnya perang Aceh melawan Belanda telah memakan waktu 69 tahun, sebagaimana diakui oleh pihak Belanda.
Kedaulatan Aceh
Tidak
berhasilnya Aceh dikuasai Belanda serta tidak adanya penyerahan kedaulatan Aceh
dari Sultan kepada Belanda, merupakan salah satu di antara alasan utama yang
berimplikasi sahnya kedaulatan kerajaan Aceh hingga saat ini menurut hokum
internsional. Demikian menurut pendapat
Gerakan Aceh Merdeka Hasan Tiro.
Setelah tertangkapnya sultan Aceh
terakhir. Perang Aceh terus berlangsung dalam dua bentuk.
1.
Perang bersenjata
yang dilanjutkan rakyat dibawah pimpinan para ulama, baik dalam bentuk perang gerilya yang
menyeluruh maupun dalam bentuk perang gerilya berkelompok dan perseorangan.
2.
Perang politik
yang ditandai dengan pembangunan kembali pusat-pusat pendidikan yang bernama
Dayah dan organisasi-organisasi kemasyarakatan/keagamaan yang mengelola
Dayah-dayah.
Pada
tahun 1914, untuk pertama kalinya di Aceh berdiri partai Politik Syarikat Islam
dengan Abdul Manaf dan Marah Hoesin Gelar Mangararaja Tagor sebagai ketua dan
wakilnya. Organisasi baru ini didukung oleh ulama-ulama dan tokoh-tokoh masyarakat yang baru turun dari medan gerilya.
Pusat-pusat pendidikan yang baru dibangun kembali yang bernama Dayah, menjadi
tanah subur bagi Syarikat Islam. Hal ini membuat penguasa Hindia Belanda di
Aceh menjadi khwatir dan takut. Apalagi setelah berbagai pemberontakan terhadap
Belanda melibatkan sejumlah tokoh Syrikat Islam, seperti peristiwa Bakongan tahun 1925/1926. Akibat nya, Belanda
menyatakan bahwa Syarikat Islam adalah partai terlarang di tanah Aceh. Belanda
juga melarang berdirinya partai politik apapun di Aceh.
Namun para ulama dengan tokoh
masyarakat tidak kehilangan akal. Mereka kemudian beramai-ramai mendirikan
organisasi sosial keagamaan yang merupakan organisasi politik terselubung.
Tugas utama organisasi tersebut adalah mengurus pusat-pusat pendidikan yang
bernama Dayah. Organisasi-organisasi ini berdiri sendiri di daerah masing-masing
dan pada dhahirnya tidak punya hubungan satu sama lain, sekalipun gerak
langkah dan usahanya sama, yaitu
membangun pendidikan dan membina kesadaran beragama dan berbangsa dikalangan
rakyat.
Pada tahun 1939, tokoh-tokoh dari
organisasi sosial keagamaan, seperti Jam’iyah Diniyah, Jam’iyah Hasbiyah,
Jam’iyah Madaniyah, Jam’iyah Najdyah, Jam’iyah Khairiyah dan sebagainya,
sepakakat mendirikan oragnisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh ( PUSA ), dan
Teungku Muhammad Daud Beureueh dipilih sebagai ketua umum nya. PUSA inilah yang
kemudian menjadi cikal bakal lahirnya Majelis Ulama Indonesia ( MUI ).
Kemampuan
Teungku Muhammad Daud Beureueh memimpin organisasi baru ini, dengan dibantu
oleh tokoh-tokoh ulama muda lainnya, menyebabkan PUSA dalam waktu singkat
tumbuh menjadi organisasinbesa, berpengaruh dan sangat berhasil dalam
menggerakkan kesadaran dan kekuatan rakyat. Menurut Ali Hasjmy, PUSA
sekalipun bukan organisasi politik, tetapi sepak terjangnya dalam perjuanagan
kemerdekaan sama dengan partai politik yang radikal.
Menjelang
Kedatangan Jepang
Menjelang
kedatangan Jepang di Indonesia, Ulama dan para tokoh perjuangan di Aceh mengambil
suatu kebijakan politik yang amat penting, yaitu tidak bekerja sama dengan
Belanda /sekutu dalam menghadapi Jepang. Gerakan perlawanan terhadap Belanda
kembali memanas di berbagai daerah di Aceh. Sehingga sebelum Jepang mendarat di
pantai Ujong Bate’, Aceh Besar pada tanggal 12 Maret 1942, seluruh tentara
Belanda telah lari dari tanah Aceh.
Belum
sampai setahun pendudukan Jepang atas Aceh, rakyat telah melihat kenyataan
bahwa Jepang bukanlah pembebas bangsa-bangsa Asia yang terjajah, tapi ia juga
penjajah sama seperti dengan Belanda. Perlawanan terhadap Jepang pun mulai
bangkit. Tengku Abdul Jalil Cot Pling adalah salah satu tokoh ulama yang
memimpin perlawanan ketika itu. Beliau beserta 105 pasuakannya Syahid setelah
digempur Jepang dalam sebuah mesjid dikawasan Aceh Utara.
Menjelang
Kemerdekaan Indonesia
Ketika
kekuatan rezim militer Jepang menyerah kepada kekuatan sekutu pada pada tahun
1945, atas nama rakyat Indonesia Soekarno mengambil momentum paling berharga
ini untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945
dengan batas wilayah dari Sabang sampai Merauke, yaitu batas wilayah yang
sebelumnya menjadi daerah jajahan Hindia Belanda.
Begitu berita proklamasi Indonesia diterima di Aceh,
rakyat Aceh segera memberikan respon positif mendukung proklamasi tersebut. Hal
ini terbukti dengan adanya ikrar kesetiaan dari 56 tokoh Aceh untuk mendukung
kemerdekaan Republik Indonesia. Sumpah kesetiaan ini dilangsungkan pada tanggal
23 Agustus 1945 bertempat di gedung Shu Chokan ( kantor Residen Aceh, kini
pendopo Gubernur ). ke 56 tokoh tersebut antara lain Teuku Nyak Arief dan
Teungku Pangima Polim Muhammad Ali.
Puncak
dari dukungan terhadap Republik Indonesia yang baru lahir ini adalah ketika
dikeluarkannya ‘’Maklumat Ulama Seluruh Aceh’’ tanggal 15 Oktober 1945 yang
berisi Fatwa bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah sama
dengan perjuangan suci yang disebut perang Sabil dan merupakan sambungan dari
perjuangan Aceh terdahulu seperti perjuangan almarhum Teungku Chik Ditiro, dan
pahlawan-pahlawan kebangsaan yang lain. Maklumat penting ini ditanda tangani oleh empat (4) ulama
besar yaitu, Tengku H. Hasan Krueng Kalee, Teungku Muhammad Daud Beureueh, Teungku
H.Dja’far Sidik Lamjabat, Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri, serta diketahui
oleh Teuku Nya’ Arief selaku Residen Aceh dan disetujui oleh Tuanku Mahmud
selaku Ketua Komite Nasional.
Perang Cumbok
Pada
tahun 1946, terjadi sebuah tragedi besar di Aceh yang merenggut sekitar 1500
nyawa rakyat Aceh. Tragedi tersebut dikenal dengan istilah perang Cumbok,
antara pasukan hulubalang Aceh yang dipimpin oleh Teuku Daud Cumbok dengan
pasukan pejuang Aceh yang mendukung kemerdekaan RI.
Sebagian
orang menilai perang Cumbok adalah perang antara Ulama dengan Hulubalang yang
sejak zaman Belanda selalu berseberangan, kalangan hulubalang dinilai selalu
mengkhianati perjuangan ulama beserta para pejuang Aceh dalam menentang
intimidasi penjajahan Belanda. Begitu pula setelah proklamasi, mereka dianggap
tidak mendukung kemerdekaan dan menginginkan kembalinya kekuasaan Belanda di
Aceh. Akan tetapi tidak semua hulubalang berseberangan dengan ulama. Tengku H.
Hasan Krueng Kalee adalah salah seorang tokoh ulama yang tidak setuju dengan
peperangan tersebut. Dan beliaulah yang diutus pihak pejuang Aceh di Kuta Raja
untuk menemui Teuku Daud Cumbok agar mau berdamai. Tetapi ajakan itu ditolak
dengan alasan ia tidak mungkin lagi mundur, setelah nama baik hulubalang
tercemar akibat-akibat tuduhan yang belum terbukti tersebut.
Aceh Sebagai
Daerah Modal
Dalam
perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI dari Agresi I dan II Belanda
(1947-1949), Aceh kembali menunjukkan jati dirinya sebagai pendukung sejati
republik dan satu-satunya daerah yang tidak berhasil dimasuki kembali oleh
Belanda. Sehingga dalam kunjungan pertamanya di Aceh Juni 1948 Presiden
Soekarno sempat menegaskan bahwa Aceh dan segenap rakyat adalah modal pertama
bagi kemerdekaan RI.
Julukan
Aceh daerah modal, bukanlah kata-kata tanpa makna, tapi dibuktikan langsung
oleh para pejuang Aceh dalam kenyataan. Gubernur militer Aceh Mayor Jendral
Teungku Daud Beureueh segera menggalang pengumpulan dana perjuangan dari
segenap rakyat Aceh untuk membiayai pemerintah RI yang baru seumur jagung dan
terancam bangkrut. Selang periode Oktober-Desember 1949 terkumpul 500.000
Dollar AS, dengan perincian 250.000 Dollar untuk keperluan angkatan perang (
cikal bakal TNI ), 50.000 Dollar untuk perkantoran pemerintah RI, 100.000
Dollar untuk pengembalian pemerintah RI dari Yogyakarta, dan 100.000 Dollar
diserahkan kepada pemerintah lewat A.A. Maramis. Juga terkumpul sebanyak 5 kg
emas untuk membeli Obligasi pemerintah. Rakyat Aceh juga mengumpulkan Dollar
Singapura untuk membiayai perwakilan Indonesia di Singapura dan pendirian
Kedubes RI di India.
Setahun sebelumnya ( 1948 ) rakyat Aceh juga
menyanggupi permintaan Soekarno agar Aceh menyumbangkan dana untuk pembelian
pesawat yang membantu transportasi pejabat pemerintah RI dalam upaya mencari
dana perjuangan di luar negeri dan dalam upaya mengadakan kontak-kontak
diplomatik antara tokoh-tokoh pejuang Indonesia dengan pemerintah India, Burma
dan negara lainnya.
Dua
bulan setelah permintaan itu diajukan, saat menyambut tiga tahun kemerdekaan
Indonesia, rakyat Aceh menyumbang dua pesawat Dakota RI 001 dan RI 002 kepada
pemerintah pusat kemudian menjadi cikal bakal dari Garuda Airways. Selain dua
pesawat, sebuah kapal laut berbobot 100 ton, berbagai peralatan senjata serta
piranti telekomunikasi juga turut disumbangkan bagi perjuangan revolusi.
Kesetiaan Aceh
Pada Indonesia
Di front
Medan Area Sumatra Utara, pejuang Aceh ikut berperan aktif melawan tentara musuh.
NICA Belanda yang ingin kembali menduduki wilayah Sumatra. Belasan ribu rakyat
yang mengungsi dari Sumatra Timur, baik dari daerah Langkat ke arah Aceh Timur
dan dari Deli Serdang dan Tanah Karo menuju Aceh Tenggara dan Tengah. Mereka
ditampung dan dibantu oleh rakyat Aceh seperti saudara sendiri. Ribuan ton beras,
ratusan kerbau dan sapi dikirim dari wilayah Aceh sebagai logistik bagi pejuang
yang beroperasi di front Medan Area, Langkat dan Tanah Karo.
Ujian
terberat bagi kesetiaan Aceh terhadap Republik Indonesia adalah pada tanggal 17
Maret 1949, Wali negara Sumatra Timur, Dr. Tengku Mansur mengundang Tengku Daud
Beureueh selaku Gubernur Militer Aceh untuk menghadiri suatu rapat yang diberi
nama ‘’Muktamar Sumatra’’ yang akan membahas berdirinya ‘’Negara Republik
Federasi Sumatera’’. Pada dasarnya gagasan ini berasal dari Gubernur Jenderal
Hindia Belanda Van Mook. Belanda sangat berkepentingan agar Aceh ikut serta
dalam dalam pembentukan “Republik Federasi Sumater” sebab dengan itu
pembentukan atas Indonesia kembali dapat dipertahankan. Karena Aceh sebagai “Wilayah
Modal” Republik Indonesia sudah berdiri sendiri dan tidak lagi memberi dukungan
terhadap pejuang rakyat Indonesia di wilayah lain.
Pada
tanggal 20 Maret 1949 diadakan siding Staf Gubernur Militer Aceh serta sejumlah
tokoh ulama untuk membahas ajakan Dr.Tengku Mansur Tersebut. Dalam sidang yang
diwarnai perdebatan panas dan berlangsung dari jam 10 pagi sampai jam 23:00
menjelang tengah mala ini, muncul tiga pendapat; sebagian menerima ajakan
tersebut, sebagian ingin memproklamasikan Aceh sebagai negara yang berdiri
sendiri, dan sebagian lain tetap setia mempertahankan Republik Indonesia.
Tengku
H. Hasan Krueng Kalee adalah seorang ulama yang mengusulkan agar Aceh berdiri
sendiri. Dengan pertimbangan bahwa roda pemerintahan Indonesia sudah lumpuh dan
Aceh ketika itu punya sejarah dan kemampuan secara militer untuk berdiri
sendiri, dimana seluruh senjata peniggalan Jepang berhasil dikuasai oleh
pejuang Aceh. Disamping itu, menurut nya ia dan ulama-ulama lain mampu
menggalang kekuatan rakyat untuk mendukung gagasan tersebut.
Namun
usulan ini mendapat tantangan keras dari dari Tengku Daud Beureueh. Beliau
menegaskan bahwa kesetiaan rakyat Aceh terhadap pemerintah RI bukan dibuat-buat
tetapi kesetiaan yang tulus dan ikhlas yang keluar dari hati nurani nya dengan
perhitungan dan perkiraan yang pasti. Menurut nya kemerdekaan secara
terpisah-pisah, negara pernegara tidak akan menguntungkan dan tidak akan
membawa kepada kemerdekaan yang abadi. Dalam pidatonya beliau menegaskan:
“sebab itu, kita tidak bermaksud untuk membentuk
suatu Aceh Raya, karena kita disini bersemangat Republiken. Untuk itu, undangan
dari Wali Negara Sumatera Timur itu kita pandang sebagai tidak ada saja, dari
karena itu tidak kita balas.
Akhirnya sidang Staf Gubernur Militer Aceh memutuskan
untuk menolak ajakan Dr. Tengku Mansur, dan dengan penolakan Aceh maka bagi
“Republik Federasi Sumatera” gugur dalam kandungan.
Kesetiaan
Aceh terhadap Republik juga dibuktikan dengan dukungan penuh segenap pejuang
Aceh yang diberikan kepada pemerintah Darurat R.I ( PDRI ) di bawah pimpinan
Syafruddin sejumlah tokoh nasional berhasil ditawan Belanda dan ibukota RI yang
dipindahkan ke Yogyakarta telah berhasil diduduki.
Tokoh-tokoh
Aceh seperti Teungku Muhammad Daud Beureueh memegang peranan penting dalam
pengiriman bantuan kepada Pemerintah Darurat yang bermarkas di Bukittinggi ini.
Bahkan ketika situasi di Bukittinggi tidak aman, Presiden PDRI Syarifuddin
Prawiranegara diminta Daud Beureueh hijrah ke Aceh dan mendapat sambutan hangat
di sana. Dengan demikian pemerintahan RI masih dapat bertahan, karena masih ada
Aceh sebagai satu-satunya wilayah RI yang tidak berhasil diduduki kembali oleh
Belanda sepanjang perang Revolusi Fisik
( 1945-1949 ).
Dari stasiun radio yang berlokasi didalam
hutan anatara Bireuen dan Takengon, disiarkan berita-berita jalan nya revolusi
Indonesia dan bahwa pemerintahan Indonesia masih eksis. Berita-berita ini pula
kemudian dimanfaatkan Dubes RI untuk PBB L.N Palar dan dr. Soedarsono selaku
diplomat yang menghubungi India, untuk menunjukkan kepada dunia Internasional
bahwa Republik Indonesia masih dapat bertahan bahkan masih memiliki wilayah
Aceh secara “defacto” dan “dejure”, yang luasnya lebih besar dari negeri
Belanda. Dengan realitas ini, Belanda akhirnya harus mengakui Indonesia
meskipun dalam bentuk Republik Serikat dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang
berlangsung di Den Haag 27 Desember 1949.
Dengan diterimanya
hasil KMB dan terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) maka Indonesia
resmi terbebas dari penjajah asing, dan pemerintahpun dapat mulai berjalan
dengan semestinya. Namun hal ini bukan malah membawa dampak positif bagi rakyat
Aceh, melainkan kekecewaan demi kekecewaan akibat kebijakan-kebijakan yang
dijalankan pemerintah Republik terhadap daerah yang sebelumnya telah menjadi
modal bagi lahirnya pemerintahan tersebut.
Awal dari
segala kekecewaan rakyat Aceh adalah sikap arogan pemerintah yang tanpa
pertimbangan matang, melebur status provinsi Aceh ke dalam pemerintahan Provinsi
Sumatra Utara, kurang dari delapan bulan setelah status Provinsi Aceh diberikan
oleh Syafruddin Prawiranegara dengan ketetapan pemerintahan Darurat RI.
No.8/Des/ WKPH tertanggal 17 Desember 1949. Pembubaran provinsi Aceh dilakukan
oleh Kabinet Halim Perdana Kusumah dengan peraturan pemerintah pengganti UU
No.5 Thn. 1950, yang ditanda-tangani Pejabat Presiden Mr.Asaat dan Mendagri Susanto
Tirtoprojo dari PNI, sesudah berlangsungnya Sidang Dewan Mentri RIS tanggal 8 Agustus
1950 di Jakarta.
Dengan keputusan
tersebut, rakyat Aceh menilai bahwa perjuangan mereka selama ini untuk
mendukung kemerdekaan RI ternyata dibalas dengan air tuba oleh pemerintah RI
sendiri. Apalagi mengingat janji Presiden Soekarno, saat pertama kali
berkunjung ke Aceh pada 16 Juni 1948, Presiden atas nama Allah pernah bersumpah
akan memberikan hak kepada Aceh untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai Syariat
Islam. Soekarno berjanji akan mempergunakan pengaruhnya agar rakyat Aceh nantinya
benar-benar dapat melaksanakan Syari’at Islam di daerahnya. Janji ini pada
kenyataannya tidak pernah terealisir pada masa soekarrno, malah justru Provinsi
Aceh dibubarkan dan dilikuidasi ke Provinsi Sumatera Utara. Satu hal yang
kemudian menjadi salah satu faktor pemicu lahirnya gerakan Darul Islam dibumi
serambi Mekkah tersebut.
Untuk lebih lengkapnya dapat dibaca dalam buku yang menarik karya Mutiara Fahmi Razali, PERGOLAKAN ACEH DALAM PERSPEKTIF SYARIAT, Cetakan Kedua, Yayasan PeNA Banda Aceh, Rabi"ul Awal 1435 H / Januari 2014
Untuk lebih lengkapnya dapat dibaca dalam buku yang menarik karya Mutiara Fahmi Razali, PERGOLAKAN ACEH DALAM PERSPEKTIF SYARIAT, Cetakan Kedua, Yayasan PeNA Banda Aceh, Rabi"ul Awal 1435 H / Januari 2014
Terima kasih telah membaca Sejarah Aceh
Sumber :
Mutiara Razali Fahmi, PERGOLAKAN ACEH DALAM PERSPEKTIF SYARIAT, Cetakan Kedua,
Yayasan PeNA Banda Aceh, Rabi"ul Awal 1435 H / Januari 2014